Wastra Tradisional di Tenun Gaya
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-06-04
Beberapa tahun lalu seorang teman menghadiahi saya selembar kain berwarna hitam. Kain itu tampak tak bermotif, tapi bila diamati akan tampak motif bertekstur timbul, berbintik-bintik, mirip huruf brailer.
Tahun 2000, Wignyo mendirikan usaha tenun di kampung Cicohag, desa Padaasih, Cisaat, Sukabumi. Penenunnya adalah para perempuan yang semula bekerja sebagai pembuat batu bata. Tentu saja memerlukan waktu (bertahun-tahun) dan kesabaran, untuk mengubah kemampuan seorang pekerja kasar pembuat batu bata menjadi seorang penenun yang untuk membuat selembar kain harus menyusun 6000 benang di ATBM (alat tenun bukan mesin). Tapi toh, pada akhirnya ketekunan, kesabaran, dan kegigihan mendatangkan hasil.
Motif-motif Tenun Gaya terinspirasi dari wastra tradisional Nusantara. Seperti motif pada songket dan ulos. Fungsinya pun sama, sebagai kain panjang, atau selendang. Namun tampilannya dibuat lebih kekinian dengan warna-warni dan material yang lebih ringan agar lebih nyaman saat dipakai. Motif-motif baru pun dibuat, namun tetap kental dengan rasa tradisional. Teknik pembuatannya pun diperkaya agar tampil lebih menarik.
Wignyo bercerita bahwa motif terumit adalah motif Rangrang dari Nusa Penida Bali. Saking rumitnya, dalam sehari si penenun hanya menyelesaikan 4 sentimeter kain. Kain pun selesai paling cepat satu bulan, itu pun kalau si penenun tak keburu bosan. Repot juga kalau dia bosan, ngambek, terus pulang ha... ha... ha... ha....
Tenun Gaya sudah memiliki pelanggan tetap di tahun-tahun awal, khususnya pecinta dan pengguna wastra tradisional. Namun kemudian, nama rumah tenun ini tambah melejit pada 2004, saat keluarga mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono mengenakan baju seragam hari raya produksi Tenun Gaya.
Pada 2007, butik Tenun Gaya dibuka di Cipete. Tempat nyaman bagi para pelanggan untuk memilih jenis kain, motif dan warna. Menjadi eksklusif karena pelanggan pun bisa memesan kostum dengan desain tertentu.
Akhir Mei 2017 lalu, Tenun Gaya membuka butik kedua di kawasan Menteng. Bekerja sama dengan Widya Ardiani dan Abnizar yang keduanya ternyata merupakan pelanggan tetap Tenun Gaya sejak dulu. Berada di lokasi premium, butik ini menjadi solusi bagi pelanggan yang kebanyakan tinggal di pusat Jakarta.
Dalam acara tersebut, beberapa model-memeragakan busana koleksi Tenun Gaya. Mulai busana muslim hingga busana pesta yang elegan. Tangan saya meraba selembar kain dengan teknik benang yang seperti terburai hendak lepas dari kain. Luar biasa cantiknya. Tapi, jenis kain seperti itu bukan pilihan saya. Karena untuk orang yang grasa-grusu seperti saya, takutnya kain itu bakal rusak saat duduk atau tersangkut di mana-mana saat berjalan ha... ha... ha... ha....
Rumah tenun ini memproduksi beragam selendang, kain, dan busana (ready to wear) berbahan sutra. Harganya berkisar antara Rp750.000 ‐ Rp3.500.000. Dari harganya saja sudah jelas segmen pasarnya adalah menengah ke atas.
Tapi jangan khawatir, di butik dijual pula bahan tenun meteran. Ada yang terbuat dari dari benang spunsilk (campuran benang sutera dan katun) seharga Rp100.000 ‐ Rp200.000 per meter, bahannya seperti kain hitam milik saya.
Sementara bahan meteran yang 100% terbuat dari benang sutera, harganya berkisar Rp250.000 ‐ Rp500.000 per meter. Bila kita membeli bahan meteran, kita bisa langsung menjahit di butik Tenun Gaya.
Jadi bila ingin memberi cindera mata untuk seseorang, produk Tenun Gaya bisa jadi pilihan. Bisa jadi hadiah ulang tahun atau hantaran unik di Hari Raya. █
BUTIK TENUN GAYA
Jl. Cipete Raya No.18 C, Jakarta Selatan
Telepon: (021) 7690544, (021) 896 6909 6867
Jl. Purworejo No.14, Menteng, Jakarta Pusat
Telepon: 0858 8533 8163
Foto utama:
Make up/pengarah gaya: Daisy Kwee
Foto: Lufti Hamdi
Lokasi: Suwe Ora Jamu, Jl. Petogogan I, Jakarta Selatan
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment