Gucialit Bukit Berlapis Teh

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-05-11

Mata saya rasanya masih 'rapat' Jam masih menunjukkan pukul 04.00 tapi saya harus bangun karena hendak melihat matahari terbit di kebun teh.



Teman-teman dari g'OWA (Gucialit Organisas Wisata Alam) sudah menunggu di depan vila dengan beberapa mobil jeep, siap mengantar saya dan teman-teman #PesonaIndonesia ke kebun teh.



Beruntung kami bisa menginap di komplek Perkebunan Teh Kertowono. Tempat kami menginap adalah bangunan zaman Belanda. Jarak dari vila ke perkebunan teh yang akan dituju sekitar 4 kilometer. Itu pun harus berangkat jam 04.00 pagi. Bayangkan kalau kami menginap di kota Lumajang yang berjarak 35 kilometer. Pastinya harus bangun lebih pagi lagi.



Vila kami berada tak jauh dari pabrik Teh Kertowono yang beroperasi 24 jam setiap hari. Di bawah naungan PT. Perkebunan Nasional XII (PTPN XII), Gucialit menjadi salah satu penghasil teh hitam terbaik di Indonesia.



Perjalanan ke perkebunan teh bukanlah melalui jalan beraspal mulus. Jalanan tanah, berbatu, menanjak dan berkelok-kelok, lubang besar pun ada di mana-mana. Bisa dipastikan bila hujan, jalanan ini berubah menjadi kubangan.



Kami ber-13 dibagi menjadi 4 kelompok, sesuai jumlah jeep yang ada. Pantaslah di dalam jeep penumpangnya paling banyak 4 orang. Kalau lebih dari itu ditakutkan kepala akan saling terbentur. Setalah beberapa kali belakang kepala saya terbentur pada jok mobil dan jendela, saya memilih untuk duduk dengan punggung tegak. Alhasil setelah 30 menit perjalanan kemudian mobil berhenti, rasanya lemak tubuh saya berkurang setengah ha...
ha...
ha...
ha....



Kami naik ke bukit melalui jalur tanah yang gembur di antara tanaman teh. Dari dangau (pondok dari kayu) di puncak bukit, saya bisa melihat lampu-lampu kota jauh di bawah sana. Redup dan menghilang satu per satu seiring terang yang mulai membayang di timur. Makin terang makin tampak luas pula hamparan perkebunan teh. Seperti karpet bergelombang dilatarbelakangi megahnya puncak Semeru.





Tapi sampai hari mulai panas, kami tak menemukan para perempuan pemetik teh. Seorang petani teh yang kebetulan lewat mengatakan bahwa sekarang pemetikan tak lagi dilakukan manual. Melainkan sudah menggunakan mesin. Tapi karena saat itu mesin pemetik teh tak juga datang, maka petani tadi mencoba menggambarkan bentuknya.



Mesin pemetik berbentuk persegi panjang. Saat mesin dihidupkan, 2-4 orang memegang di kedua ujung. Mengangkat mesin setinggi permukaan tanaman teh sambil berjalan. Dengan mesin, pucuk teh yang dipangkas akan lebih banyak dan waktu yang dibutuhkan pun lebih singkat. Tapi di mata saya perempuan pemetik teh dengan topi caping tetap akan menjadi ikon abadi.



Mesin pemetik berbentuk persegi panjang. Saat mesin dihidupkan, 2 orang memegang ujun kiri, 2 orang di ujung kanan. Mengangkat mesin berat itu setinggi permukaan tanaman teh. Sambil berjalan sesuai alur tanaman teh. Dengan mesin, pucuk teh yang dipangkas akan lebih banyak dan waktu yang dibutuhkan pun lebih singkat. Mungkin memang begitu tuntutan produksi. Tapi di mata saya, perempuan pemetik teh dengan topi caping tetap akan menjadi ikon abadi. █


--------------------------------------------------


Perjalanan bersama para blogger, instagramer, dan fotografer ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hashtag #PesonaLumajang #PesonaIndonesia

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment