Berdiri di Puncak B29, Lumajang

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-05-10

Terus terang saya bukan "anak gunung". Karena tak terlalu tahan dingin, baru membayangkan harus menempuh pendakian berjam-jam pun saya sudah lelah. Tapi kali ini perjalanan mengejar matahari cukup menyenangkan. Saya tetap bisa tidur di kasur, makan kenyang, mandi, dan hanya mendaki 10 menit saja.



Menunggu matahari terbit 2.900 meter di atas permukaan laut sambil menahan udara dingin 5 derajat celcius, merupakan perjuangan tersendiri. Tapi ketika warna terang mulai menggaris cakrawala, seakan hilang rasa dingin yang sudah membekukan hidung dan jemari sedari tadi.



Saya berdiri di Puncak B29. Sebuah puncak bukit yang berada di wilayah desa Argosari, Senduro, Lumajang, dan merupakan bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Masyarakat Tengger turun-temurun menyebut tempat itu Kutugan, dinamai sesuai situs legenda Jaya Kusuma yang mengorbankan diri terjun ke kawah gunung Bromo, sesuai janji ibu-ayahya (Roro Anteng dan Joko Sengger) kepada dewa.



Kadang juga disebut Puncak Sanga Likur (penyebutan 29 dalam bahasa Jawa), dan kini lebih dikenal dengan Puncak B29. Saya sempat penasaran, apakah penamaan tempat terkait dengan salah satu merek deterjen, pelawak lawas Ratmi B29, atau pesawat yang mengangkut bom Hirosima-Nagasaki pada Perang Dunia ke-II? Ternyata tidak. B adalah bukit, 29 karena berada di ketinggian 2.900 meter di atas permukaan laut. Dan akhirnya memang nama itu yang mudah diingat.



Sinar matahari pagi perlahan menampilkan siluet puncak gunung Raung, Argopuro, dan Lemongan. Saat saya menoleh ke kanan, puncak Semeru gagah menjulang menembus awan. Bila melihat ke belakang tampak gunung Batok dan asap putih mengepul dari gunung Bromo. Hamparan awan menutupi pemandangan di bawah. Pantaslah kalau tempat ini sering disebut Negeri di Atas Awan.








PRE-ORDER BIAR AMAN

Di tempat-tempat wisata seperti ini sudah seharusnya penduduk lokal terlibat untuk merawat dan menjaga. Itu juga yang dilakukan Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Argosari, memfasilitasi para wisatawan dengan segala kemudahan.



POKDARWIS merupakan kumpulan masyarakat lokal yang peduli tentang perkembangan wisata dan adat budaya daerahnya. Tentang siapa saja yang terlibat di dalamnya, saya sempat mengobrol sesaat dengan Ketua POKDARWIS Argosari, Budiyanto (di sela-sela kesibukannya mengurus acara hajatan malam itu).



Sebagian besar yang bergabung dalam POKDARWIS adalah tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat. Sesepuh dan tetua adat pun dilibatkan. Karena mereka inilah yang memiliki massa, mampu mengarahkan masyarakat untuk melakukan hal-hal positif.

Tak melulu soal wisata alam, POKDARWIS Argosari juga mengembangkan Desa Wisata Adat sehingga seni budaya dan adat-istiadat akan tetap terjaga. Toh, pada akhirnya akan berdampak bagi kesejahteraan penduduk setempat juga. Jangan salah, 100 personel ojek motor yang sadar wisata pun sudah ikut bergabung dalam POKDARWIS. Bahkan siswa SMP pun sudah dilibatkan untuk praktek lapangan. Seluruh masyarakat disadarkan untuk mencintai daerah mereka sendiri.



KEMAH ATAU HOMESTAY?

Buat para penggemar petualangan pasti tertarik untuk berkemah. Nah, waktu ideal untuk berkemah di sini adalah jam 16.00 sampai jam 06.30 wib. Kalau cuaca cerah, kalian bisa mendapatkan momen terbaik saat matahari terbenam dan bisa melihat matahati terbit sambil tiduran di sleeping bag di dalam tenda.



Soal tenda tak perlu repot. POKDARWIS menyediakan penyewaan tenda. Juga perlengkapan berkemah lainnya, mulai alas tidur sampai kayu bakar. Suhu udara bisa drop sampai 1 derajat celcius pada malam hari. Jadi jangan lupa kenakan jaket, kaos kaki, kaos tangan, dan topi.






Beberapa teman memilih berkemah untuk mengabadikan tebaran bintang, mengabadikan milky way dan awan tumpah. Saya memilih tinggal di salah satu rumah warga yang dijadikan homestay, di desa Argosari. Dengan harga sewa Rp55.000/orang/hari, saya bisa menghangatkan diri di dalam rumah.



Ada kamar mandi yang bersih dengan air sedingin es. Ada dapur yang bisa dipinjam untuk memasak air untuk mandi, tapi saya terlalu malas untuk itu ha... ha... ha... ha....



Makin malam udara makin dingin. Apa khabar yang tidur di tenda di atas sana? Sementara di homestay saja saya tidur dengan memakai jaket, kaus kaki, dan dua lapis selimut. Itu pun masih menggigil kedinginan saat terbangun tengah malam.



MAKANAN YANG PERLU DICOBA

Bila kalian ingin berkemah, jangan khawatir soal perut. Tak jauh dari Puncak B29 ada beberapa warung yang menyediakan mie instan, pisang goreng, kue-kue kering, teh, dan kopi. Tapi warung-warung tersebut kadang tak buka pada malam hari. Kalau mau aman, sebelum berkemah kalian bisa pre-order makanan di Kafe Gunung yang ada di pusat desa, Rest Area 1, dan Rest Area 2. Ada nasi bungkus seharga Rp5.000 ‐ Rp10.000, juga paket prasmanan menu lokal Rp15.000 ‐ Rp25.000/porsi.



Malam itu makanan diantar ke homestay, ada sega gerit (terbuat dari tepung jagung), ayam, sambel bawang lombok terong, kulup semen, kentang rebus, telur dadar bawang, kerupuk, dan buah potong.



Nah, kentang rebus adalah juaranya. Menu lokal pengganti nasi ini wajib dicoba dan harusdimaka hagat-hangat. Tampilannya kuning,. Disajikan dalam potongan yang cukup besar. Cita rasanya manis gurih dengan tekstur yang sangat lembut.



Kafe Gunung juga menerima pesanan layanan antar ke Puncak B29. Tapi ada minimum order dan dikenakan biaya tambahan sebagai ongkos kirimnya.

3. NAIK MOTOR JAM 04.00
Untuk mengejar terbitnya matahari, saya harus bangun pagi-pagi sekali. Naik ojek dari homestay ke Puncak B29. Cukup dengan mendaftarkan diri pada POKDARWIS sehari sebelumnya dan membayar Rp60.000/orang, saya pun mendapatkan sebuah kartu pass yang bertuliskan nomor. Kartu pass inilah yang nanti disamakan dengan nomor antrean ojek. Ternyata hal ini merupakan cara jitu untuk membedakan ojek resmi dengan ojek liar yang biasanya mengejar wistawan dan memberikan harga tinggi, antara Rp75.000 ‐ Rp150.000.



Saya sudah siap berangkat. Menggunakan jaket, topi, sarung tangan, juga syal untuk melindungi muka dari terpaan angin. Berpegang erat pada bahu pak ojek, karena jalanan terus menanjak, berbelok tajam di jalanan yang sempit, diapit jurang dan tebing. Motor digas pooool! Dalam 20 menit, saya sudah sampai di Puncak B29.



"Nanti dijemput jam berapa?" tanya pak ojek. Biasanya waktu tunggu berkisar antara 2-3 jam saja. Kalau saya ingin lebih lama berada di Puncak B29, saya harus membayar biaya tambahan sebesar Rp10.000/jam. Nah, untuk kalian yang ingin bermalam di Puncak B29 dan dijemput pagi harinya juga dikenakan biaya penjemputan, lho.



Saat pulang, jangan salah naik ojek. Tetaplah menggunakan dengan ojek sesuai nomor yang tertera pada kartu pass kalian. Nah, kalau saat berangkat tadi pagi suasana masih gelap, setelah terang baru tampak indahnya pemandangan sepanjang perjalanan menuruni bukit hingga sampai di desa Argosari.





INFO POKDARWIS ARGOSARI

Budiyanto 085336006579 █


--------------------------------------------------


Perjalanan bersama para blogger, instagramer, dan fotografer ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hashtag #PesonaLumajang #PesonaIndonesia

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment