ISPO & Kelapa Sawit Indonesia
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-05-09
Minyak sawit menjadi solusi ketika kebutuhan minyak nabati dibutuhkan saat Revolusi Industri melanda dunia. Kini ketika negara-negara besar mulai memproduksi minyak jagung, mengapa minyak sawit Indonesia dipermasalahkan?
Pada 2013, luas areal perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai 10.010.824 hektar. Tercatat 4,7 juta hektar dari total lahan keseluruhan adalah perkebunan swadaya milik petani, selebihnya dimiliki perusahaan besar dan menengah. Terbayanglah berapa besar lapangan pekerjaan yang tersedia dan pertumbuhan ekonomi yang makin membaik di kalangan petani.
Perkembangan minyak sawit Indonesia juga pernah menggantikan keberadaan minyak kelapa tradisional. Ketika kebutuhan industri dunia membutuhkan minyak sawit dalam jumlah besar. Propaganda tentang kelebihan minyak sawit pun disanjung. Keburukan serta kekurangan minyak kelapa disebarluaskan. Akhirnya para petani kopra pun beralih menanam sawit. Kini ketika negara-negara besar ingin menaikkan hasil minyak nabati lainnya, jelas sulit menyaingi produksi minyak sawit Indonesia. Tudingan sebagai perusak lingkungan pun jadi senjata. Dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan pemicu pemanasan global hingga terbentuknya rumah kaca.
Sebenarnya hal tersebut sudah diantisipasi sejak 2009. Kementerian Pertanian Republik Indonesia sudah mengeluarkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan.
Tujuan ISPO sebenarnya untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dengan standart internasional. Diberlakukan cukup ketat dalam bentuk sertifikasi mencakup cara penanaman, mutu, hingga tanggung jawab sosial untuk perbaikan lingkungan sekitar agar berguna bagi masyarakat dan warisan generasi selanjutnya.
Tanpa sertifikasi ISPO, perusahaan sawit tak bisa menembus pasar dunia, dan untuk mendapat sertifikasi, setiap pelaku usaha memenuhi 7 syarat, yaitu:
1. Sudah ada legalitas.
2. Manajemen mengacu pada Good Agriculture Practice. Mulai pembukaan lahan tanpa membakar, tidak membangun di sempadan sungai, menjaga kawasan hutan lindung, menggunakan bibit bersertifikat, hingga tidak menggunakan pestisida melebihi ambang batas.
3. Perlindungan hutan premier dan lahan gambut.
4. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
5. Tanggung jawab terhadap pekerja, mulai keselamatan hingga pembayaran di atas upah minimum.
6. Tanggung jawab sosiasi dan pembangunan ekonomi masyarakat.
7. Peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Sampai pada April 2017, sudah ada 517 pelaku usaha perkebunan yang ikut ujian sertifikasi. Hal ini jelas membuktikan niatan dan kerja sama yang baik antara pelaku usaha dan pemerintah.
Jadi mengapa kita tidak mencoba membuka mata dan pikiran? Mari berfikir positif, kalau ISPO ditetapkan, dilakukan, dan diawasi secara berkelanjutan akan tercipta industri sehat lingkungan yang baik. Optimislah bahwa semuanya bertujuan untuk Indonesia yang lebih baik lagi. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment