Menjajal Keberanian di Tumpak Sewu
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-05-08
Dari dataran di ujung tebing tampak lubang berbentuk setengah lingkaran, beberapa aliran air jatuh deras ke dalamnya. Lalu terdengar ajakan "Ayo, kita turun ke bawah?" Duh! Apa tidak bisa menikmati air terjun dari atas sini saja?
Dekat gerbang masuk menuju jalur turun ada papan berisi larangan bagi anak-anak di bawah usia 10 tahun dan orang dewasa di atas 50 tahun untuk turun. Kalaupun ada yang berusia lebih dari itu harus diyakinkan apakah tenaga mereka cukup kuat untuk menempuh perjalanan.
Abdul Karim yang akrab dipanggil bang Karim, bertanya pada kami ber-12. "Adakah yang menderita penyakit jantung, takut ketinggian, atau depresi?"
Alasannya jelas, karena penderita penyakit jantung sangat beresiko menempuh perjalanan ke lokasi air terjun, yang takut ketinggian juga dijamin tak bakal sampai tujuan, dan penderita depresi ditakutkan malah 'tergoda' terjun ke jurang.
Bang Karim juga memeriksa apakah alas kaki kami sudah cukup aman. Dibutuhkan sandal gunung atau sepatu dengan sol yang 'bisa mencengkeram tanah.' Penggunaan sandal jepit harus dihindari, daripada membahayakan malah disarankan berjalan tanpa alas kaki. Tas yang dibawa sebaiknya tak terlalu besar. Cukup dengan ransel kecil atau tas selempang, karena perjalanan menuruni tebing membutuhkan kedua tangan. Juga sebaiknya tas tahan air atau dibungkus plastik karena perjalanan nanti akan melewati sungai.
Kecermatan Bang Karim sungguh menenangkan hati. Menunjukkan bahwa dia seorang pemandu yang bertanggung jawab. Sayangnya, jasa pemandu masih sering diabaikan oleh beberapa pengunjung. Padahal sebenarnya dengan pemandu perjalanan akan lebih aman, karena mereka paham setiap jengkal tanah yang dipijak. Toh, tak ada gunanya perjalanan yang menantang bila kita tidak selamat.
JALUR 'ORANG GILA'
Air terjun Tumpak Sewu (atau juga dikenal dengan Coban Sewu) menjadi pembatas wilayah Lumajang dan Malang. Kala itu, dari desanya, di wilayah Lumajang, bang Karim hanya bisa mengintip air terjun dari balik kebun salak milik tetangga. Keinginannya membuat jalur turun ke bawah dianggap mustahil oleh warga desa.
Sampai akhirnya, pada Maret 2015 dia melakukan pembukaan jalur. Bergelantungan menggunakan akar pohon untuk turun ke dalam jurang. Bang Karim pernah dinyatakan hilang karena berhari-hari tak pulang. Ia pun sempat dianggap gila karena sering pulang ke rumah dengan tubuh kotor penuh lumpur dan tanah.
Tapi sedikit demi sedikit selama 6 bulan, akhirnya jalur setapak menuju air terjun pun terbentuk. Tanah dibuat berundak untuk mempermudah pijakan. Mengapa tak dibuat jalur permanen dari batu dan semen? Agak sulit diwujudkan mengingat tanah di kawasan pegunungan itu sangatlah labil.
KONSENTRASI NOMOR SATU
Jalur berupa lapisan semen hanya dibuat beberapa belas meter saja. Setelah itu berubah menjadi jalan setapak. Beberapa pijakan dilapisi susunan bambu, ada yang masih utuh, ada pula yang rapuh. Tangan kanan meraba dinding tebing. Tangan kiri berpegangan pada pagar bambu yang jadi pembatas jurang.
Pijakan bambu berganti jadi undakan tanah yang licin. Tak ada lagi pagar untuk berpegang. Tangan bertumpu pada tanah, atau tali yang sengaja diulur dengan simpul-simpul kecil sebagai tempat menggenggam. Jalan setapak terus menurun dan berkelok-kelok tajam. Saya tak bisa bergerak cepat, lebih memilih berjalan pelan. Sesekali menghapus peluh yang berjatuhan sambil terus mengatur nafas.
"Setelah ini melintas sungai. Bebatuannya curam, tidak licin, tapi harus hati-hati," terdengar teriakan dari bawah. Mampu atau tidak? Mampu atau tidak? Pertanyaan itu muncul di benak berulang-ulang tapi akhirnya saya tetap melangkah juga. Karena mau berbalik arah juga percuma, banyak teman di belakang yang menghalangi jalan.
Berpegang pada pagar bambu yang menempel di dinding tebing. Sebenarnya ada tali yang menjulur, tapi tangan saya terlalu pendek dan saya terlalu takut untuk meraihnya. Pelan-pelan kaki memilih pijakan di antara bebatuan yang tertutup air deras. Berhati-hati agar tidak terpeleset dan menggelundung ke bawah.
Sampai di pijakan tanah, bang Karim berdiri dekat air yang keluar dari bebatuan seperti pancuran, "Minum ini biar segar lagi. Biar sehat dan awet muda," katanya sambil tertawa. Terlepas dari iming-iming awet muda, saya yang kehausan langsung menampung air dengan telapak tangan dan meminumnya. Dingin dan segaaar....
Jangan terbuai! Itu cuma intermezo, karena jalur kembali curam. Kaki berpijak pada tanah licin, sementara tangan harus berpegang kuat pada seutas tali. Lalu kami harus menuruni tangga bambu yang dipasang nyaris tegak lurus. Sampai di bawah rasanya kaki lemas, jalan pun goyah. Lega rasanya ternyata kami sampai di sebuah dataran di dasar jurang, diapit dua tebing menjulang tinggi yang membentuk huruf V (virgin). Tebing Perawan sebutannya.
Setelah menyusuri celah, rintangan lain sudah menunggu. Sebuah sungai berarus deras harus pula dilewati. Saya mencoba mengikuti petunjuk bang Karim sebaik-baiknya. Menyeberang dengan posisi badan membelakangi arus, kedua tangan memegang tali yang meregang, dan kaki meraba-raba dasar sungai yang berbatu. Awalnya air hanya setinggi betis, namun ketika saya salah berpijak dan batu di dasar sungai bergerak, basahlah celana saya sampai sebatas pinggul.
JATUHNYA 'SERPIHAN SURGA'
Setelah kurang-lebih 30 menit menempuh perjalanan yang menegangkan, seru suara derasnya air terjun terdengar. Jatuh dari ketinggian 150 meter menghujam tanah membuat cipratan airnya menghambur persis seperti hujan gerimis. Membasahi baju, badan; juga lensa kamera. Kagum tak terhingga berada di bawah air terjun semacam ini. Melihat aliran yang jatuh ke bawah semacam disuguhi pertunjukan megahnya alam.
Di bawah, air mengalir di sela-sela batu, biasanya pengunjung akan bermain, berendam-rendam di situ. Ha... ha... ha... ha.... seperti kurang basah saja sepanjang perjalanan tadi. Beberapa teman naik ke atas batu-batu besar yang bertumpang tindih untuk berfoto. Awalnya saya ikuti, namun saya urungkan niatan untuk berdiri di pinggir seperti yang mereka lakukan. Karena saya agak ceroboh, jangan sampai karena lelah malah terpeleset jatuh. Saya memilih mengumpulkan sampah-sampah botol plastik yang bertebaran, yang ditinggalkan oleh pengunjung. Orang-orang kelelahan yang tak lagi sanggup membawa botol kosong bekas minuman ke atas.
Entah mengapa setiap berkunjung ke air terjun, saya selalu khawatir bila tiba-tiba ada air bah datang. Namun ternyata, di Tumpak Sewu tindakan antisipasi sudah disiapkan. Bila hujan deras dan debit air di atas mengalami peningkatan, petugas di desa akan membunyikan sirine. Semua pengunjung di bawah harus secepatnya menjauh dari lokasi air terjun dan kembali ke atas.
Hari sudah semakin sore, angin mulai kencang, udara dingin, dan langit semakin gelap ketika Bang Karim berseru mengajak kembali ke atas. Saya menarik nafas dalam-dalam, bersiap mengumpulkan tenaga.
DITANTANG SAMPAI AKHIR
Ketika tahu untuk ke lokasi air terjun harus menyusuri jalur yang cukup curam untuk sampai ke dasar lembah. Kontan saya melontarkan sederet pertanyaan. Jurangnya dalam? Jalur turunnya bagaimana? Berapa lama perjalanan? Tebingnya seberapa terjal?
Tampaknya itu membuat mas Sendy Aditya Saputra, seorang fotografer profesional, yang ikut memimpin perjalanan ke lokasi air terjun kemudian mengatur urutan turun. Para lelaki harus berada di depan atau di belakang perempuan untuk membantu dan berjaga-jaga. Dari ber-12 (di luar bang Karim), ada 3 perempuan yang ikut serta, saya, Aya, dan mbak Nina Yusab. Awalnya memang rapi, tapi lama kelamaan yang lelah sibuk mengatur nafas.mempersilakan yang masih kuat untuk berjalan duluan.
Hal yang sama terjadi saat perjalanan balik dari lokasi air tejun. Saat mendaki kembali ke atas, rombongan mulai terbagi-bagi. Paling depan Nur Khudori, saya, Schode, dan pak Wawan. Di belakang saya masih melihat Aya mendaki perlahan ditemani Harival Yazuka dan Ain. Disusul pak Karim, mbak Nina Yusab, Fahmi, Amorr, Luki dan mas Sendy.
Aya tampak kelelahan, ia berhenti berkali-kali. Sementara mas Sendy yang membawa headlamp, menjadi orang terakhir di rombongan. Dan dia jauh di bawah sana. Lama kelamaan jarak kami mulai terpisah semakin jauh. Karena daripada berhenti saya memilih mendaki pelan-pelan walaupun dengan nafas terengah-engah. Mumpung masih bisa melihat pijakan daripada nanti harus meraba-raba tanah dalam gelap.
Hujan mulai turun, jalur tanah bertambah licin. Berkali-kali saya mempersilakan Schode dan pak Wawan untuk mendahului. Tapi mereka menolak, selain gelap, toh tak ada lagi yang diburu. Duh, betapa hebatnya tiga lekaki yang menemani saya. Pembawaan mereka tetap tenang, mendaki dengan langkah lebar-lebar. Sementara saya? Emak-emak pasar dengan susah payah mendaki sambil mengatur nafas yang rasanya sudah mau putus di kerongkongan.
Belokan-belokan tajam dan jalur menanjak kembali dilalui. Rasanya tak sampai-sampai juga. Beruntung lengan saya masih kuat mengangkat badan yang berat ini. Tak apalah sesekali meminta Nur (yang mendaki lebih dulu) membantu menarik lengan saya. Yang penting bukan Schode dan pak Wawan yang harus repot mendorong bokong saya dari belakang ha... ha... ha... ha....
Ketika akhirnya kaki bisa menjejak jalur dengan lapisan semen. Leganya bukan kepalang. Akhirnya sampai juga di atas. Kami duduk di bangku bambu dengan maksud mengaso menunggu teman-teman lain yang masih mendaki. Tapi menunggu dalam keadaan basah kuyup malah membuat saya menggigil kedinginan. Akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan sampai ke rumah bang Karim di desa. Tertatih-tatih tapi tetap semangat sambil membayangkan semangkuk mi instan rebus yang akan dipesan setiba di sana.
Berselang hampir setengah jam ketika akhirnya semua rombongan kembali berkumpul. Mas Sendy mengacungkan jempol kepada saya, sambil berkata "Ternyata sampai duluan," serunya. "Maaf ya, mbak saya tadi sangsi. Saya khawatir mbak nggak bakalan kuat. Karena kelihatannya mbak tipikal orang yang cepat lelah."
Kok bisa bilang begitu? Apa karena tadi saya banyak tanya jadi tampaknya belum-belum sudah putus asa? Padahal saya bertanya untuk mengukur kemampuan diri. Bukan sok kuat, tapi paling tidak jangan sampai nanti merepotkan orang lain dan perjalanan terhambat gara-gara saya.
"Bukan, mbak," mas Sendy ragu meneruskan kalimatnya, "Karena betis mbak pendek!"
Ha... ha... ha... ha... Wah, tak disangka, ternyata betis pendek saya ini masih kuat menopang beban sampai akhir.
Terima kasih bang Karim (kemeja putih) atas panduan jalurnya. Terima kasih Schode atas iming-iming mi instannya. █
INFO TUMPAK SEWU
Abdul Karim
Instagram:@tumpak_sewu_bangdul
Telepon: 0813 3406 1395
--------------------------------------------------
Perjalanan bersama para blogger, instagramer, dan fotografer ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram denghashtag #PesonaLumajang #PesonaIndonesia
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment