Ketika Hati Mengalahkan Birahi
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-04-10
Dalam kisah pewayangan, banyak cerita tentang realita kehidupan yang ternyata masih relevan dengan kehidupan masa kini. Seperti ketika Abimanyu menentang perjodohannya dengan Dewi Utari yang diatur oleh Arjuna. Menurutnya, pernikahan itu masalah hati, bukan melulu nafsu birahi.
Abimanyu adalah korban dari kekalahan Pandawa dalam permainan dadu melawan Kurawa. Pandawa yang kehilangan kekuasaan pun harus hidup 13 tahun dalam pengasingan. Arjuna yang tak ingin anaknya hidup dalam penderitaan, terpaksa meninggalkan Abimanyu dalam pengasuhan Baladewa.
Abimanyu baru bertemu dengan Arjuna kala masa pengasingan usai. Namun Abimanyu kecewa, ketika tiba-tiba Arjuna menjodohkannya dengan Dewi Utari, puteri Raja Matwaspati dari negeri Wirata. Abimanyu menolak perjodohan ini karena ia sudah beristrikan Siti Sundari.
Walau mendapat tentangan dari Baladewa, Arjuna berkeras membenarkan perjodohan itu. Baladewa menyalahkan Arjuna yang tidak ikut merawat, tapi seenaknya menjodohkan Abimanyu. Baladewa yang terus melontarkan kemarahannya malah mengundang tawa para penonton, karena berkali-kali pula Kresna harus mengingatkannya untuk bersabar.
Dengan bijaksana Kresna menenangkan Abimanyu, mengingatkan bahwa perjodohan Abimanyu dan Dewi Utari bukan saja menjadi masalah keluarga, melainkan menyangkut kepentingan dua negara. Kresna pun memanggil Gatotkaca untuk mengawasi dan menjaga keselamatan Abimanyu.
Para penari memang tak hanya bisa menari, mereka juga harus memahami karakter dan setiap gerakan mengandung makna. Ketika Abimanyu dan beberapa penari lelaki menampilkan adegan di mana gerakan gagah kemudian berganti dengan goyangan pinggul gemulai. Lalu berganti dengan hentakan selendang Abimanyu seperti menghantam lawan. Menyimbolkan Abimanyu lelaki yang lemah lembut pun bisa berubah menjadi pemarah.
Abimanyu yang menari berdampingan dengan Arjuna. Kemana Abimanyu bergerak, Arjuna selalu mengikuti. Jelaslah bagaimanapun Abimanyu tetaplah anak Arjuna. Anak yang harus menjalani hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, ksatria perkasa Pandawa.
Jauh dalam lubuk hatinya, Abimanyu tak ingin seperti ayahnya. Berat baginya menduakan hati wanita. Walau Siti Sundari bersumpah untuk tetap setia, sementara Dewi Utari pun cukup tahu diri.
Tokoh Mahabharata lain yang ditampilkan di lakon ini adalah, Sembadra, Srikandi, Bima, Puntadewa, Dursasana; Duryudana, Sengkuni, dan Durna. Pecahnya perang di Kurusetra menjadi puncak cerita. Masalah kegundahan hati harus diabaikan. Jiwa ksatria Abimanyu terpanggil. Maju ke medan perang karena para Kurawa mendesak pertahanan Pandawa. Abimanyu menembus medan perang, namun ia terkurung dalam kerumunan pasukan Kurawa.
Tata lampu dalam sebuah pementasan memang penting. Seperti di setiap adegan Abimanyu Mandira Sungsang. Menyorot dan berganti memberi warna pada cerita. Seperti ketika sosok Abimanyu berdiri jauh di belakang tersapu warna biru lalu menggelap dan menghilang. Menyimbolkan jiwa Sang Ksatria sudah meninggalkan raga dan pergi ke nirwana.
Di saat yang sama, lampu menyoroti Arjuna yang terduduk lemas. Menunjukkan betapa besar penyesalannya atas kematian Abimanyu. Yang lahir dan besar tanpa ayah di sampingnya. Namun berani mengorbankan jiwa demi membela Pandawa. Bukti cinta ksatria pada keluarganya. █
Sutradara: Nanang Hape, S.Sn
Produser: Ir. Retno Irawati Surono
Produser Pelaksana: Prapto Panuju
Koordinator Produksi: Dwi Suryanto
Penata Musik: Blacius Subono, M.Skar
Penata Busana: Ali Marsudi, S.Sn
Penata Tari: Ahmad Dipoyono, S.Sn, Wahyu Sapto Pamungkas, S.Sn
Penata Artistik: Sugeng Yeah
Penata Suara: Purwo Aji
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment