Arka Suta, Kurawa yang Menderita

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-03-22

Cerita pewayangan tentang Pandhawa dan Kurawa selalu berisi pesan moral. Benarkah sifat Pandhawa selalu baik dan Kurawa selalu buruk? Tinggal bagaimana dalang membawakan cerita. Karena kali ini lakon yang dibawakan tentang seorang Kurawa yang ternyata tak selalu jumawa.



Arka Suta (anak matahari) juga dikenal dengan nama Karna, yang harus menderita karena tak diakui sebagai ksatria, padahal ia dilahirkan dari rahim Kunthi dan dalam tubuhnya mengalir darah dari Btara Surya. Karna dibuang, diasuh oleh Adirata, seorang sais kereta Hastina, dirawat dan dibesarkan oleh istrinya, Nada.



Pada ulang tahun ke-41 kelompok tari Padnecwara, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pertengahan Maret lalu. Cerita inilah yang diangkat Rury Nostalgia. Menyelami perasaan seorang lelaki yang harus menahan kekecewaan selama hidupnya. Dibawakan dalam 5 adegan utama, diiringi gending dan alunan tembang yang dilantunkan oleh para penari.



TEMBANG ARKA SUTA





Adegan seperti flashback ketika Kresna mempertanyakan kesetiaan Karna pada Duryudana dan para Kurawa. Karna yang merasa perasaannya tersayat dalam kehidupan menjawab:



Kakaprabu, gesang namung sadermi, urip derma nglampahi.

Nadyan makatena, idhening gesang kula boten nedya lincad saking prasetya.

Menawi ngantos kantu anggen kula nitik dhateng bebuden, agengipun kapotangan tresna ingkang boten kuwawi kula timbangi, pundi purugipun, tan wande Karna badhe sinurak jagad, urip mangka telas tilasing jalma.



"Kakanda, hidup hanyalah menjalani kodrat.

Meskipun demikian, aku tak akan ingkar dari sumpah setiaku.

Jika sampai aku salah menilai sebuah kebaikan, betapa dunia akan menganggapku sebagi seburuk-buruknya manusia di muka bumi."



Mengorbankan jiwa raga menjadi bentuk kesetiaan dan itulah jalan yang benar pilihan Karna. Walaupun kesetiaan tak membuatnya merdeka sepenuhnya. Kresna yang bisa melihat masa depan pun berkata:



Yayi, ora nana urip kang sampurna. Lumaku dalan rata, tetep Siadhi bakal kasandhuning rasa.



"Adikku, tak ada kehidupan yang sempurna. Kau tempuh jalan yang benar, tetap suatu ketika kau akan kecewa."





Sosok Kunthi keluar perlahan dari kegelapan. Melantunkan tembang yang menyayat, menggambarkan kesedihannya sebagai seorang ibu yang menyesali telah membuang anak yang dilahirkannya.



Mili mlintir waspa saking tuking tresna, mili mlintir anjog sungapaning rasa.

Basukarna, putraku kang ninging banyu, kusuma sunaring surya.

Nadyan padha dene tatu, pinisah dening pacoban.

Mapan wus kudu mengkene.

Pun ibu mundhut aksama.

Bakal dak gege lakuning dina ngantya diwasamu, anjlumati gung panandhang, angundhuh wohing lelakon.



" Air mata yang mengalir panjang.
Aur mata mengalir mencapai muara rindu.

Basukarna, kau sebening air, cahaya hatiku.

Kita tersayat luka, terpisah oleh kisah.

Memang demikian hidupmu.

Maafkanlah ibumu.

Segeralah kau dewasa.
Kuatlah menyandang luka-lukamu jalani kisahmu."



UJIAN DI SOKALIMA





Pandhawa dan Kurawa adalah bersaudara. Keturunan pilihan, keturunan para raja. Tapi mereka berbeda dalam ilmu, tindakan, dan pencapaian. Di Sokalima, murid dan guru berkumpul ajang unjuk keahlian.



Dalam lakon ini Janaka tak ditampilkan lemah lembut, ia kadang juga bersikap kasar dan merendahkan. Tak suka melihat Karna, yang ingin mengabdi pada seseorang yang sakti, masuk arena. Bagi Janaka, Karna ada pesaing. Sehebat apa pun Karna, ia tetaplah dianggap rakyat jelata. Akhirnya, kepada Kurawalah Karna mengabdi.



Melihat perlakuan Janaka pada saudara kandungnya sendiri. Kunthi meluluh memendam duka. Janaka mendekat menenangkan hati ibunya:



Kanjeng ibu setyoning kalbu.

Sampun maca udrasa.

Tetesing waspa karya rekaning bantala.

Jagad kataman kencana kang weh ruhara.

Tumelung pasrah mring purbaning kang kwasa.



"Duhai ibu, permata hatiku.

Jangan bersedih.

Tetesan air matamu akan membuat bumi berduka.

Dunia akan dilanda kesengsaraan.

Marilah berserah diri kepada kehendak Yang Maha Kuasa."



KARNA & SURTIKANTI





Surtikanti, belahan jiwa Karna merasakan kelicikan Kurawa. Tapi Karna adalah ksatria yang memegang kata setia. Ia mengabdi pada Duryudana yang telah mengangkatnya menjadi panglima, yang memuliakan derajat dan kedudukannya. Surtikanti pun hanya bisa melantunkan perasaannya:



Lungguhing katresnan lan kuwajiban, lamun saged amiji samukawis kang ngurakapi,

tumrap bebrayan kang nggadhang kamulyan,

kapitayan mwrasa pancandriya,

weninging cipta titis tur wicaksana.



"Sesungguhnya, antara cinta dan kewajiban,

hanya bisa dilihat dari pilihan yang ditetapkan,

terhadap kehidupan yang mengarah pada kebaikan,

kepercayaan seringkali menutupi kepekaan,

hanya pikiran yang bening mampu melihatnya."



PERTARUHAN DADU





Pandhawa yang menolak permainan dadu karena merusak norma karena mengumbar nafsu, dikatakan pengecut oleh para Kurawa. Tak hanya kekayaan dan negara yang dijadikan taruhan, tapi juga harga diri Drupadi.



Pandhawa kalah. Drupadi tersungkur masuk. Lembaran kain merah yang tergantung di atas, jatuh ke panggung, menunjukkan betapa terhinanya wanita Pandhawa ini.



Kiblat papat bumi langit segara gunung padha alok ngalembana.

Nanging jiwa sudra mokal bisa ngrumangsani tumeka kukuting jaman.

Basukarna bocah keli,

wus kelem marang bebener, benerira pribadi.

Lamun sira wiji dadi, sabab apa katrem ngiyom wreksa agung Gri Ngastina, kekandhange para murka.

Lamun nyata wiji dadi, sun tanting madeg madyaning ara-ara dhadhag wani nataki bentering surya.



"Semesta, bumi langit laut gunung memuji-mujimu (Karna).

Tapi jiwa yang lemah tak mungkin memahami hingga akhir zaman.

Basukarna, anak yang dibuang,

telah tenggelam dalam rasa kebenarannya sendiri.

Jika kau benar-benar berjiwa mulia, mengapa kau berlindung pada pohon besar, Negeri Hastina, rumah kaum angkara.

Jika kau lelaki sejati, kutantang beranikah kau keluar dari Hastina merasakan hidup yang sebenarnya."



Kunthi menyadari keberadaan anak kandungnya, Karna. Namun terpisah bertahun-tahun membuat jarak keduanya sudah semakin jauh. Melihat perselisihan antara Pandhawa dan Kurawa yang semakin meruncing, Kunthi khawatir kehilangan anak-anaknya. Dengan penuh hormat Karna menjawab:



Swasi kula aturi midhanget atur kula. Upami mbejang kedah kelampah Prang Ageng Baratayuda, Paduka boten badhe kecalan menapa-menapa.



"Ibundaku, dengarkanlah janjiku. Jika kelak perang Baratayuda terjadi, kau tak akan kehilangan anakmu."



PERANG PANDHAWA & KURAWA.





Baratayuda, perang pembalasan atas sumpah. Utang yang harus dibayar, hukun karma yang tak bisa dicegah. Hancurnya keangkaramurkaan. Perang besar ini ditampilkan para penari dengan menakjubkan. Keris-keris diacungkan. Melati-melati jatuh bertebaran, menyimbolkan darah yang membanjiri padang Kurusetra.



Janaka dan Karna beradu satu lawan satu. Tebasan pada leher membuat Karna tersungkur jatuh. Ketika Kunthi memeluk Karna. Nada, ibu angkat Karna datang dengan marah:





Ibu kang kaya sira, nora bisa nandukake tresna.

Lamun biyung kang sanyata, yagene biyen tega.

Lamun nyata ibu sejati, praptamu nggawa pepati.



"Kau sebut dirimu ibu, yang tak mampu mencintai.

Jika benar-benar disebut ibu, mengapa dulu kau tega membuangnya.

Jika kau ibu yang sesungguhnya, kehadiranmu sudah membawa petaka."



Saat itulah Janaka baru tahu kakak kandungnyalah yang terkena tebasan anak panahnya. Bergegas memeluk dan membiarkan Karna menghembuskan nafas terakhir di dadanya.



Di akhir pertunjukan, saya merasakan air mata mengalir perlahan. Sesak dada ini karena terharu melihat roh Karna beranjak, jiwa yang akhirnya bebas. █



Penata gerak: Rury Nostalgia, Wasi Bantolo, Tunjung Seto

Penata gending/tembang: Blacius Subono

Penulis naskah: Nanang Hape

Penata artistik: Sentot S.

Penata cahaya: Sonny Sumarsono

Penata panggung: Firsty

Penata suara: Bayu Wicaksana

Penata rias: Kirman, Tyo B., Surip Handayani



Penari:

Wasi Bantolo, Fajar Satriadi, Retno Maruti, Rury Nostalgia, Nungki Kusumastuti, Ali Marsudi, Yuni Swandiati, Purwo Tjahjo Indrawati, Hanny Herlina, Endang Purwani, Inda Aminah, Chrystina Ambarwati, Yully Purwanti, Mahesani Tunjungseta, Irwan Dhamasto, Puradi Mahatva Yusanto Putra, Bagus Aji Cahyawibawa, Damasus Chrismas Verlananda Waskito.



Pengrawit:

Blacius Subono, Kadar Sumarsono, Sri Mulyana, Danys Sugianto, Dwi Suryanto, Nanik Dwi Widyaningrum, Ganang Windu, Aang Wiyatmoko, Radian Wirohatnolo, Kukuh Indrasmara, Slamet Wardana.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment