Visit Tidore Island:<br> Cerita Rempah & Tradisi Babari

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-03-15

Kalau menyebut Tidore, saya langsung merindukan pulau indah di Maluku Utara yang dikelilingi lautan ini. Di tengahnya menjulang puncak Kie Matubu yang nyaris lancip sempurna. Setiap pelosok tercium aroma wangi cengkeh, rempah berharga yang tak bisa lepas dari cerita sejarah.



Rempah-rempah sudah dikenal dunia jauh sebelum abad ke-15. Para pedagang Arab membawa cengkeh, pala, kayu manis, dan guraka (jahe) ke Eropa. Kala itu rempah menjadi barang mewah incaran para bangsawan. Digunakan sebagai bumbu masak, pengawet, obat, minyak wangi, juga dipersembahkan sebagai upeti.



TANAH PARA RAJA

Pedagang-pedagang Arab mendatangkan rempah dari daerah yang mereka sebut Al Mulk, tanah para raja. Tempatnya sangat jauh, yang baru bisa dicapai belasan bulan, mengarungi samudera dan terjangan badai. Bangsa Eropa yang kemudian menjadi serakah, berlomba-lomba ikut mencari daerah asal rempah. Membabi-buta mengirim kapal-kapal berlayar melintasi samudera, menebak-nebak tanpa tahu arah.



Daerah yang dimaksud para pedagang Arab adalah pulau-pulau tempat berkuasanya 4 kerajaan besar Moluku Kie Raha. Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan. Di antara empat kerajaan itu, Tidore memiliki kekuasaan paling luas. Dengan armada laut yang hebat, wilayahnya mencapai pesisir Sulawesi, jauh sampai Selayar, juga pulau-pulau di Raja Ampat sampai daratan Papua.





Sebagai surga rempah, Tidore sudah menjalin hubungan dagang dengan para saudagar dari Arab, Gujarat, dan daratan Asia. Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Hingga akhirnya VOC memonopoli rempah, dan mulailah kolonialisme memecah belah tanah para raja.



Menolak dijajah, satu-persatu Sultan dan para bangsawan diasingkan. Tapi 'muka Tidore' tak bisa dicoreng begitu saja. Sultan Nuku, salah satu sultan yang bersama rakyat Tidore gigih melakukan perlawanan. Ingin membuktikan bahwa Tidore tak boleh diremehkan, keberadaannya di bumi ini sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya.



Ingin rasanya suatu saat nanti saya bisa menyaksikan Paji Nyili-nyili. Upacara yang digelar setiap tahun untuk mengingat kembali perjuangan Sultan Nuku. Bendera angkatan perang dan bendera Kesultanan akan dikibarkan lagi, diiringi nyala Obor Negeri sebagai simbol semangat Sang Jou Barakati.



Karena memang terbukti, walau bangunan kedaton sempat dihancurbinasakan, namun selama 909 tahun Kesultanan Tidore tetap berdiri. Kini Sultan ke-37, Husein Sjah, sosok tegas dan berkharisma, yang bertugas memimpin adat dan menjaga tradisi.





TRADISI MEMPERKAYA HATI

Bagi masyarakat Tidore, keberadaan Sultan sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Bila Sultan bertitah, itu menjadi perintah. "Babari!" begitu salah satu yang beliau titahkan. Dan seluruh masyarakat pulau serentak melakukan apa yang diperintahkan.



Bari atau babari merupakan sebuah tradisi 'memanggil' seluruh masyarakat untuk bersama-sama melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan. Kearifan lokal yang sudah dilakukan secara turun-temurun ini sejatinya bisa mempererat rasa kekeluargaan, gotong royong, saling membantu berdasarkan kesadaran dan keikhlasan hati.



Babari biasa dilakukan pada saat panen cengkeh dan pala, membangun rumah adat (fola soa), masjid, atau rumah (bari fola), juga menjaga kebersihan desa, dan pelaksanaan upacara-upacara adat. Yang berbadan kuat bisa menyumbangkan tenaga, yang mampu memasak menyediakan makanan dan minuman, yang berkecukupan menyumbangkan alat-alat. Semua orang terpanggil menunjukkan kepedulian pada sesama dan lingkungan sekitarnya.



Karena itu jugalah masyarakat Tidore menjaga kebersihan pantai dan laut. Seperti keharusan mereka menjaga Maitara, Pasi, Mare, dan Failonga. Pulau-pulau kecil 'permata' Tidore yang memiliki keindahan bawah laut luar biasa.



Bagi mereka, laut tak hanya sebagai sumber penghidupan, tapi sudah menjadi bukti kejayaan Tidore masa lalu. Dan kini laut menjadi pusat tempat pelaksanaan upacara adat Lufu Kie. Ritual yang dilakukan Sultan dan para Bobato, berlayar menggunakan kora-kora mengitari pulau, sambil berziarah ke beberapa tempat keramat. Ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta yang telah memberikan limpahan rasa aman, damai, dan tentram.



Kekayaan sejarah, alam, budaya, adat, dan tradisi memang jadi tujuan Visit Tidore Island. Tapi selain itu ada ajaran yang mereka warisi. Cok'ou kaha, kie se kolano, keyakinan bahwa hidup manusia menjadi sempurna bila ia bisa berguna bagi sesama. Karena mereka percaya semua perbuatan baik berbalas pahala itu pasti. Tidore memang tanah raja, yang bukan saja kaya rempah tapi juga memperkaya hati. █



Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment