Membaca Retno Maruti
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-03-14
Namanya bergaung kondang sebagai penari Jawa klasik. Beberapa tahun lalu, ketika kali pertama menonton pementasan tari Retno Maruti, tak habis takjub saya melihat keelokan kostum dan tata cahaya panggungnya. Namun tanpa bisa dielakkan, baru satu jam pementasan berlangsung, saya pun jatuh tertidur....
Datang ke pameran foto dokumentasi Padnecwara - Lakon Jawa & Koreografi Retno Maruti di Bentara Budaya Jakarta pada awal Maret lalu, bagi saya merupakan bentuk penebusan dosa karena sudah melakukan 'pengkhianatan' pada seni.
HIDUP UNTUK MENARI
Sejak kecil Retno Maruti sudah belajar menari. Ia berguru di sekolah, di lingkungan rumah, dan juga dari para ningrat keraton Surakarta. Dibimbing KRT Koesoemokoesowo, RAy Laksmintorukmi, RAy Sukorini, dan Basuki Kuswarogo. Di usia belia, Retno Maruti sudah mampu menarikan tari Bedaya dan Serimpi. Ia cakap pula bermain gending dan melantunkan tembang-tembang Jawa hasil berguru pada Bei Mardusari dan Sutarman.
Selain itu kemahirannya juga diasah oleh sang ayah, Soesiloatmodjo, yang selalu mengingatkan Retno Maruti untuk tidak melebih-lebihkan seni demi kepentingan bendawi. Atas dorongan ayahandanya, Retno Maruti pun tak ragu berlatih wayang wong dan tari Gambyong, yang kala itu bukanlah tarian keraton.
Pengalaman hidup yang tak bisa ia lupakan adalah saat bisa menarikan tari Bedaya Ketawang di hadapan jumenengan Raja Kasunanan Surakarta. Tarian sakral yang biasanya hanya ditarikan dalam jumlah ganjil oleh para penari keraton. Kala itu, untuk menampilkan tarian tersebut jumlah penarinya kurang 3 orang. Maka dipanggillah penari dari luar keraton, dan Retno Maruti adalah salah satu yang beruntung. Hingga kini, tari Bedaya menjadi sumber inspirasi koreografi Retno Maruti, yang setiap gerakannya mengandung filosofi.
SEORANG PENJAGA TRADISI
Bersama suaminya, Sentot Sudiharto, Retno Maruti mendirikan sanggar tari Padnecwara. Yang selama 41 tahun, setiap pementasannya tak pernah sepi penonton. Selain harmoni gerak tari, pementasannya diiringi tembang-tembang berbahasa Jawa. Bukan halangan bagi penonton yang tak mengerti artinya, karena alunannya membuat mereka tetap bisa larut dalam pertunjukan.
Ada masa di mana Retno Maruti memilik 100 murid usia belia yang belajar menari dan memainkan gamelan. Sebagai guru, Retno Maruti bersikap lembut namun tegas. Ia pun sering turun tangan membantu murid-muridnya berhias menjelang pentas. Murid-muridnya tumbuh mendewasa bersama. Sebagian masih ikut serta dalam pementasan hingga kini, sebagian lagi tetap setia menjadi pemerhati seni.
Retno Maruti menyadari bahwa zaman terus bergeser, segala sesuatunya berubah cepat. Pada 1980-1990-an ia sempat berhenti tampil. Seperti merenung, mempertanyakan akankah seni tari tradisional masih tetap dilirik di antara seni modern yang bermunculan membabi buta?
Namun, seorang Retno Maruti tak bisa berhenti berkarya. Ia mempunyai komitmen, jiwanya tetap terpanggil untuk menjaga tradisi. Lakon koreografinya menafsirkan nilai-nilai kehidupan dan merupakan doa. Baginya, menari adalah memuliakan Sang Pencipta.
Kini di usia 70 tahun, Retno Maruti masih berlenggok gemulai. Menampilkan paduan kreativitas dengan lelaku kehidupan menjadi perjalanan spiritual, yang dilakukannya sepenuh hati. █
(Repro foto: Edial Rusli, Tian Reffina, Sherly Novota)
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment