52 Kilometer ke Gereja Tugu
Category: Sepeda • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-02-17
"Hayuuuk! Saya temani!" sahut saya ketika Dolly Putra @sambilngopiyuk (blogger yang tinggal di Banjarmasin) akan ke Jakarta dan berencana jalan-jalan naik sepeda di ibukota. Tapi setelah tahu tujuannya, kok rasanya hati saya antara menyesal sudah mengiyakan tapi tertantang untuk ikut serta.
"Mau bersepeda ke mana kita?" tanya saya seminggu sebelum kedatangan Dolly ke Jakarta. Ternyata tujuannya adalah Gereja Tugu. Yang setelah saya lihat di google map, letaknya di kawasan Plumpang Semper, Cilincing. Jauh di ujung timur laut peta Jakarta. Glek!!!
GALAU, LEMOT & NYASAR
Melihat langit cerah di Minggu pagi itu, saya sempat berucap, "Duh! Cuaca cerah pula." Jadi sebenarnya dalam hati kami berdua mempertanyakan besarnya nyali. Ragu. Mampu atau tidak bersepeda ke sana? Sampai atau tidak ke tujuan? Mampu kembali ke titik awal atau tidak?
Bengkel MISTER FIXER'S (baca: Bukan Penyewaan Sepeda Biasa) jadi titik awal keberangkatan. Walau saya sudah lebih dulu menempuh 8 kilometer perjalanan dari rumah.
Perjalanan di mulai pukul 19.15. Jalur 17-18 kilometer yang akan ditempuh sudah disepakati, yaitu Jl.Karet Belakang III ‐ Jl.Sultan Agung ‐ Jl.Tambak ‐ Jl.Pramuka ‐ Jl.Pemuda ‐ Jl.Kayu Putih Raya ‐ Jl.Boulevard Raya (Kelapa Gading) ‐ Jl.Pegangsaan Dua ‐ Jl.Raya Tugu.
Sepeda kami beriringan. Dolly di depan, saya di belakang. Kayuhan santai, tak terlalu cepat, tapi tidak lambat juga. Waktu tempuh tak jadi patokan, yang penting sampai tujuan. Kami berhenti berkali-kali untuk mencocokkan peta di ponsel. Itu pun 'pakai lama'. Ponsel Dolly lemot, karena memorinya sudah penuh. Sementara ponsel saya lemot karena paket internet sudah menipis ha... ha... ha....
Sampai di bundaran Kelapa Gading, saya takjub sendiri. Daerah yang jarang saya datangi, kalau tak ada keperluan penting. Bagi saya yang tinggal di Jakarta Selatan daerah ini terasa jauuuh sekali. Tapi ternyata kali ini saya sampai juga ke sana. Naik sepeda pula!
Selama perjalanan saya bisa merasakan beragam suasana Jakarta. Mulai dari wilayah perumahan yang masih banyak pepohonan, masuk ke kawasan yang penuh ruko, hingga yang mulai gersang dan berdebu, jalanan yang dilintasi truk-truk tronton dan peti-peti kemas yang tersusun di lahan pabrik.
GEREJA TUGU
Khawatir salah jalan, kami berbelok ke perkampungan padat. Menyusuri jalan di pinggir sungai yang airmya berwarna hitam pekat. Setelah kembali ke jalan raya, untuk kesekian kalinya kami berhenti di pertigaan jalan, bertanya pada orang ke mana arah ke Gereja Tugu.
"Itu gerejanya," kata mereka sambil menunjuk ke balik pepohonan. Akhirnya setelah 2 jam mengayuh sepeda, sampai juga kami persis di ujung jalan di samping gereja.
Tampaknya misa kedua baru selesai. Masih banyak jemaat di sekitar gereja. Para pemusik keroncong berlatih dan bernyanyi di bawah pohon besar. Ngamen, begitu kata mereka yang selalu berkumpul seusai misa.
Sambil menunggu bapak Johan Sopaheluwakan, Humas Kebudayaan Ikatan Keluarga Besar Tugu menyelesaikan urusan gereja, kami mengaso di teras salah satu rumah di depan gereja. Sampai seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai istri pendeta memberitahu bahwa kami berada di rumah pendeta, sementara kantor bapak Johan ada di seberang lapangan parkir. Ya, ampuuun! Sampai di tujuan pun kami masih tersasar ha... ha... ha....
DARI PORTUGIS SAMPAI BATAVIA
Pada abad ke-15 Portugis mulai mengirimkan ekpedisi untuk mencari rempah. Kapal-kapal ekspedisi itu mendarat di Goa, India, Srilanka, dan Malaka. Banyak awak kapal Portugis yang kemudian menikah dengan penduduk setempat. Keturunan mereka inilah yang juga ikut ekspedisi, berlayar ke Maluku, pusat rempah di Nusantara.
Peperangan memperebutkan rempah antar negara-negara Eropa, akhirnya dimenangkan oleh VOC (Belanda). Pada 1641, keturunan orang-orang Portugis yang tertangkap dijadikan tawanan perang, dibawa ke Jawa, dan diasingkan jauh dari Benteng Batavia. Ke sebuah wilayah terpencil yang dikelilingi rawa-rawa.
Keturunan Portugis ini kemudian membangun pemukiman, wilayahnya kemudian dikenal dengan nama Kampung Tugu. Pada 1748, dibangun gereja. Bangunan panjang berteras yang memiliki 6 jendela tinggi. Tak jauh dari gereja digantung sebuah lonceng. Kini yang digantung di sana adalah lonceng tiruannya, karena lonceng yang asli sudah pecah di beberapa bagian, tapi tetap disimpan dalam kotak kaca di rumah pendeta.
Pemakaman berada di sebelah gereja. Satu-satunya nisan berbentuk trapesium 3 dimensi menandai makam tertua. Milik Dominicus Leimena, seorang berdarah Maluku yang menjadi guru injil di Gereja Tugu pada 1805-1810. Seperti makam-makam tua lainnya nisan makam ini hanya diberi nama, tanpa tahun lahir maupun tahun kematian.
Terasing dan jauh dari mana-mana, kala itu mereka menghibur diri dengan memainkan musik cavaquinho. Alat musiknya terdiri dari jitera (berbentuk gitar dengan ukuran besar), krunga (ukuran sedang), dan macina (ukuran kecil). Saat dimainkan alat-alat musik itu mengeluarkan bunyi 'crong... crong... crong...' maka kemudian dikenal dengan musik keroncong.
Keturunan Portugis penghuni kampung Tugu disebut juga mardijkers (orang-orang yang dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan). Dengan syarat mereka harus mengganti nama-nama keluarga dengan nama Belanda. Lalu muncullah nama keluarga Andries, Cornelis, Seynons, Solomon, Michiels, dan beberapa nama lain.
Tapi karena itu juga mereka sempat bingung soal kewarganegaraan. Pada 1940-1960-an di saat situasi politik Indonesia bergejolak, banyak mardijkers yang pindah ke Belanda. Bisa dibilang setelah masa itulah bahasa Portugis tak lagi digunakan di Kampung Tugu.
KEPALA, PERUT, BOKONG & KAKI
Pulang dari Gereja Tugu, kami menentukan jalur yang lain, yaitu Jl.Boulevard Raya (Kelapa Gading) ‐ Jl.Perintis Kemerdekaan ‐ Jl.Letjen. Suprapto ‐ Stasiun Senen ‐ Jl.Kwitang Raya ‐ Jl.Kramat Raya ‐ Jl.Pramuka ‐ Jl.Proklamasi ‐ Jl.Galunggung ‐ Jl.Setiabudi ‐ Jl.Karet Belakang III.
Perjalanan tidak semakin mudah. Walau cuaca cerah dan udara panas terik, sepanjang melintas di Kelapa Gading angin kuat membuat roda depan sepeda beberapa kali seperti bergeser. Menggenggam erat setang dan terus mengayuh adalah salah satu cara agar sepeda tak terguling 'terbang'.
Energi jadi terkuras dua kali lebih banyak. Kepala saya mulai berdenyut dan nyeri, pertanda gejala dehidrasi. Berbotol-botol air sudah saya minum tapi tampaknya masih kurang juga. Akhirnya saya malah curiga, jangan-jangan saya pusing karena lapar. Padahal sebelum pulang kami sudah mampir di rumah makan Padang. Atau mungkin juga karena melihat deretan rumah makan di sepanjang boulevard Kelapa Gading.
Sampai di Jl.Perintis Kemerdekaan, kami berhenti di warung pinggir jalan. Sekedar buat menepuk-nepuk bokong yang pegal, ngadem, menyelonjorkan kaki, sambil makan pisang goreng, dan apa pun yang ada di meja ha... ha... ha.....
Perut memang tidak boleh dibiarkan kosong agar selalu bisa berkonsentrasi. Karena mendekati Stasiun Senen ketika jalan raya semakin ramai, bukan masalah motor, mobil, atau bus yang saya khawatirkan, tapi karena melihat rambu yang tertancap di pinggir jalan dengan tulisan 'Awas Sebaran Paku'. Sambil mengayuh, mata saya waspada memerhatikan permukaan aspal. Dan memang banyak paku dan logam-logam tajam bertebaran yang selalu jadi musuh sepeda!
Angin yang tadi kencang ternyata membawa awan hujan. Menjelang sore, langit berubah menjadi gelap. Beruntung hujan deras turun persis ketika kami sampai di Tugu Proklamasi. Jadi kami bisa berteduh sambil istirahat lagi.
Sekitar pukul 17.00, kami sudah kembali ke MISTER FIXER'S. Selamat dan tetap sehat. Mengulang cerita tentang keseruan dan kebodohan selama perjalanan. Menjabat erat tangan Dolly sebelum berpisah. Benar-benar teman bersepeda yang menyenangkan.
Saya masih harus meneruskan 8 kilometer yang tersisa untuk sampai di rumah. Maka selesailah sudah 52 kilometer hari itu. Lelah? Tentu! Tapi sekaligus jadi pembuktian kemampuan diri yang saya akhiri dengan senyum lebar dan tepuk tangan. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment