Pasar Wage. Wisata Seru Antimainstream!
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-10-31
Kalau sedang berwisata ke suatu kota, banyak tempat indah yang ingin didatangi. Tapi banyak yang lupa bahwa pasar tradisional pun merupakan tempat menarik untuk dikunjungi.
Hanya ada 5 hari pasaran dalam sepekan penanggalan Jawa, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Disebut hari pasaran karena pada zaman dahulu beberapa pasar memang digelar pada hari-hari tertentu. Begitu juga dengan Pasar Wage yang terletak di kecamatan Karang Kandri, beberapa kilometer dari pusat kota Cilacap ini.
HARI PASAR BERUNSUR TANAH
Bangunan pasar ini semi terbuka. Beratap genting tanah dengan tiang-tiang penyangga. Terpal-terpal dibentang sambung-menyambung sebagai tambahan untuk menahan teriknya sinar matahari.
Beralaskan karung-karung, para pedagang menggelar dagangannya di lantai semen yang sudah ditinggikan atau di atas meja-meja bambu. Karena pasar ini hanya berlangsung setengah hari, buah-buahan dan sayuran yang dijual bukan jenis yang mudah layu. Jadi kalau tak habis pada hari itu masih bisa dijual keesokan harinya di pasar lain. Tak ada juga yang menjual daging segar. Ayam, bebek, kambing, sapi, semua dijual masih dalam keadaan hidup. Ikan yang dijual pun hanya ikan hias.
Kelima hari pasaran Jawa ternyata merupakan perlambang dari unsur raga yang berasal dari udara (Legi), api (Pahing), air (Pon), tanah (Wage), dan unsur jiwa (Kliwon). Kelima hari itu pun memiliki wilayah sesuai mata angin, Legi di timur, Pahing di selatan, Pon di barat, Wage di utara, dan Kliwon di pusat kota.
Entah apakah memang sesuai atau hanya kebetulan. Walau Cilacap dikenal sebagai kota di pinggir pantai, di Pasar Wage yang terletak di sebelah utara kota, malah bukan jaring dan pancing yang dijual, tapi peralatan pertanian dan perkebunan. Berarti kegiatan yang erat dengan unsur tanah menjadi mata pencaharian utama di daerah Karang Kandri dan sekitarnya.
Mata cangkul, parang, golok, garu, linggis, dan peralatan lainnya disusun rapi di atas meja bambu. Beberapa bibit tanaman, baik yang bijian maupun tinggal ditanam juga banyak dijual. Mulai dari tanaman keras seperti pohon jati, cokelat, jambu, mangga, hingga bibit cabai yang dikemas dalam bungkus daun jati dilipat berbentuk kipas.
Ada los pasar khusus menjual peralatan dapur dan rumah tangga dari ijuk, bambu, juga kayu. Puluhan topi caping dan keranjang anyam berwarna-warni yang ditumpuk menarik. Ketika melihat sangkar burung dan bubu (alat penangkap ikan), saya malah terinspirasi membeli dan menjadikannya kap lampu.
MURAH MERIAH, TAMPIL GAYA
Ada beberapa kios yang menjual baju anak. Berwarna-warni digantung berderet rapi. Tak jauh dari situ pedagang celana jeans sibuk mencarikan ukuran yang tepat untuk pembelinya. Gulungan-gulungan kain meteran dijual, juga kain-kain panjang bermotif batik yang dipajang berdampingan dengan tirai jendela penghias ruang.
Khusus untuk aksesori, ada beragam tas, ikat pinggang, dan dompet. Mulai dari kulit imitasi sampai kulit ular asli. Sandal gunung sampai sepatu olahraga bisa dicari, dengan harga yang lebih murah daripada di toko, masih bisa ditawar pula. Seorang penjual tertawa ketika saya penasaran memperhatikan karet warna-warni yang ditata di meja, "Itu karet buat sandal jepit, mbak!" ha... ha... ha....
MULAI OBAT, ICIP-ICIP, SAMPAI SESAJI
Saat lelah berkeliling, saya ikut duduk mengerubungi tukang obat di tengah pasar. Ia sibuk menganalisa penyakit sambil mengurut lengan seorang pengunjung pasar dengan salep buatannya. Sesekali menawarkan ramuan racikannya yang dijanjikan dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Seorang ibu berseru menawarkan gembus dagangannya. Panganan terbuat dari singkong yang dibentuk melingkar seperti cincin. Setelah digoreng, teksturnya kering namun kenyal. Cita rasanya gurih tapi tak terlalu asin. Enak juga dimakan saat masih hangat, bila sudah dingin bentuknya mengempis dan lebih alot saat digigit.
Soal minuman, es dawet jadi incaran. Ada lima gerobak es dawet di pasar yang saya temui. Tak satu pun yang sepi pembeli, karena minuman ini memang cocok jadi penghalau panas di siang hari.
Beberapa kali hidung saya mencium bau tembakau yang khas. Selain dibungkus dalam plastik tembakau-tembakau ini dikemas dalam ikatan. Dijual bersama kertas lintingan, bongkahan kemenyan, dan cengkeh sebagai campuran. Di pedesaan, tembakau masih dicari, untuk konsumsi pribadi maupun dipersembahan untuk sesaji.
BARANG LOAK YANG BERHARGA
Keunikan lain Pasar Wage, adalah letak pasar yang diapit jalan raya di bagian depan dan rel kereta api di bagian belakang. Jalur dari Cilacap menuju Maos, Kroya, hingga Yogyakarta itu hanya 2 kali dalam sehari dilewati kereta api penumpang. Selebihnya, pada jam-jam tertentu dilewati kereta barang berisi semen atau bahan bakar minyak.
Ujung pasar persis berada di depan Stasiun Karang Kandri. Dan untuk penggemar sepeda onthel boleh menganga, karena deretan sepeda dijual di sini. Ada yang sudah dipoles mengilat, ada pula yang masih berkarat. Harga tergantung kondisi dan keaslian barang. Tapi yang jelas, kalau sudah dibeli sepeda onthel sudah bisa langsung digowes pulang.
Boleh dibilang bagian ujung pasar ini adalah pasar loak. Berjongkok di lapak-lapak, kalau teliti pasti ada saja yang dilirik. Koin-koin kuno, kotak perhiasan terbuat dari perak dihiasi bebatuan, dan kepala malaikat bersayap terbuat dari kuningan menggambarkan mewahnya kehidupan masa lalu.
Pasar memang jadi surga bagi siapa saja. Bagi para pedagang, pembeli, atau yang hanya berkunjung sesekali. Berbicara pasar bukan melulu soal barang, tapi suguhan suasana dan keunikanlah yang dicari. █
------------------------------
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment