Batik Rifaiyah, Harta Terpendam di Batang
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-10-21
Sebutannya tidak njawani. Padahal ragam hiasnya seperti batik pada umumnya. Di balik namanya yang Islami ternyata jenis batik ini memiliki kekhasan dan mencatat sejarah panjang.
BATIK TAREKAT SEJALAN AGAMA
Ketika pemerintah Hindia Belanda menghancurkan pesantren-pesantren, banyak santri yang kembali ke kampung halaman. Begitu pula salah satu santri yang kembali ke desa Kali Pucang Wetan, Batang dan meneruskan menyebarkan syiar agama berdasarkan kitab sang guru yang berisi syair-syair (tembang) berbahasa Jawa dan Arab tentang moral, kebaikan, kehidupan, dan kematian.
Kain-kain batik kaum Rifaiyah dipenuhi motif tumbuhan dan sulur-suluran, karena menggambar bentuk hewan tidak dibenarkan di dalam agama Islam. Kalau pun tergambar harus disamarkan, seperti ikan dengan sirip dedaunan atau kelabang yang kakinya bermotif sulur-suluran. Burung Hong khas budaya Tiongkok pun kadang digambarkan, namun dengan kepala terpenggal.
Kain-kain panjang batik Rifaiyah hanya dihasil para perempuan. Yang membatik sambil membatik melantunkan tembang-tembang bersyair agama. Jadi selain menghindari kebosanan, juga mengingat-ingat ajaran agama. Dengan demikian kegiatan membatik menjadi kegiatan yang cukup sakral harus dilakukan dalam keadaan hati yang bersih.
Jangan bayangkan mereka beramai-ramai membatik di pendopo desa. Karena biasanya pekerjaan membatik dilakukan di rumah masing-masing, usai rampung mencuci dan memasak, di sela-sela kesibukan mengurus keluarga.
MEMBATIK BEBAS
Bagi kaum perempuan Rifaiyah membatik digunakan untuk melatih kesabaran. Selembar kain panjang memerlukan waktu pengerjaan paling tidak 3 bulan. Prosesnya memang lama, karena kain yang akan digunakan harus di-ketheli (direndam dengan kacang-kacangan), diberi kanji, di-geblogi (dibanting-banting), lalu diangin-anginkan. Diulangi beberapa kali hingga memakan waktu sekitar 5 hari. Kain yang dihasilkan pun menjadi lebih kaku. Cara ini diwariskan turun-temurun dari generasi-generasi sebelumnya.
Hebatnya lagi, mereka terbiasa langsung membatik di atas kain, tidak memakai pola-pola terlebih dahulu, menggambar motif sesuka hati. Bisa dibilang daya imajinasi mereka luar biasa. Tak terhitung pula kesabarannya, karena biasanya selembar kain dibatik bolak-balik di kedua sisi. Sama bentuk, rupa, dan warna.
Hingga kini masih berlaku tradisi, ketika seorang gadis yang dilamar, ia harus membatik kain panjang dengan motif lancur dan diserahkan pada calon suaminya. Sebagai tanda ikhlas menerima cinta dan pengabdian kelak bila sudah menjadi istri.
MASA DEPAN BATIK RIFAIYAH
Batik Rifaiyah akan lenyap di suatu masa kelak menjadi kekhawatiran Miftautin, salah satu pembatik yang sudah menggoreskan canting sejak berusia 10 tahun. Karena dari 134 pembatik yang ada sekarang, hanya 10 pembatik yang berusia di bawah 20 tahun. Nyatanya, walau selembar kain panjang bisa dijual dengan harga Rp750.000 ‐ Rp3.000.000, tapi tawaran penghasilan tetap dari hasil kerja di pabrik lebih menjadi pilihan bagi generasi muda.
Walau tak bisa membatik, tapi kekhawatiran Miftahutin pun saya rasakan. Kalau agama menjadi dasar keyakinan pembatik Rifaiyah, mungkin ada baiknya di setiap pertemuan atau pengajian, para remaja putri berkumpul untuk kembali menekuni batik bersama-sama. Terserah seberapa lama mereka kerjakan. Karena intinya memburu waktu namun meneruskan tradisi. Tradisi membatik dan tradisi melantunkan tembang dan syair-syair agama. Lagi pula, kalau mereka tak lagi membatik, tak ada lagi tradisi menyerahkan selembar kain panjang untuk bakal suami. █
──────────────────
Dialog Batik bersama Pembatik Kaum Rifaiyah & Batang Heritage, Kabupaten Batang di Museum Nasional Jakarta, Oktober 2016.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment