Sarita, Batik Jelita dari Toraja
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-10-19
Ketika pakar batik, William Kwan Hwie Liong menarik sebuah kain yang panjangnya lebih dari 10 meter, sontak semua orang terpesona melihat corak ragam hias yang indah terbentang di atasnya.
Konon, ketika kain batik menjadi pakaian paling trendi bagi para nyonya dan noni. Belanda pun mencoba meniru motif-motif batik dan memperbanyaknya dengan teknik cetak sablon. Tapi hasilnya tak laku dijual di pulau Jawa. Akhirnya mereka jual di luar pulau Jawa, Malaka, dan juga India.
Dan ternyata sejak itu, teknik mencetak motif-motif di atas kain berdampak pula pada sarita di Toraja. Dianggap lebih mudah dan bisa dilakukan siapa saja, dari pada membatik dengan ranting kayu. Namun, pengerjaan tradisional masih dipertahankan hingga kini oleh Ne'One yang sudah berusia 80 tahun. Di rumahnya di desa Kete Kesu tersampir berlembar-lembar selendang, saputangan, dan kain penutup kepala. Kain sarita dan manwa yang sudah nyaris punah pun masih digambari sendiri.
Sarita menjadi salah satu perlengkapan upacara adat di Toraja. Yang berwarna terang, dianggap sebagai pengundang rezeki datang. Digunakan untuk acara pernikahan atau kelahiran bayi. Sedangkan sarita berwarna gelap, digunakan saat rambusolo (upacara kematian). Kain ini biasa dibentang di atas peti mati, disampirkan di atas tongkonan (rumah adat Toraja) keluarga yang berduka, dan dari ujung tongkonan kain diikatkan ke leher kerbau yang akan dipotong. Dipercaya sarita menjadi jembatan orang yang meninggal menuju ke dunia roh nenek moyang. █
──────────────────
Dialog Batik bersama William Kwan Hwie Liong di Museum Nasional Jakarta, Oktober 2016.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment