Menjaga #BatikIndonesia

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-10-10

Kala saya masih kecil dan tinggal di Palembang, banyak orang yang datang ke rumah nyai (nenek) untuk membeli kain batik. Di depan pembeli, nyai akan merentangkan kain panjang dagangannya, memperlihatkan motif ragam hias yang indah, diiringi aroma khas yang menyebar mengharumkan ruangan.



"Batik Jawo," begitu kerabat dan tetangga menyebutnya. Dan setelah dewasa, barulah saya tahu bahwa yang mereka maksud adalah batik tulis dari Jawa. Beragam motif batik dengan ciri khas yang berbeda berasal dari banyak kota di Jawa. Daerah-daerah pesisir pantai utara memiliki motif 'meriah' yang khas dengan warna-warna cerah terpengaruh budaya China. Sementara motif batik Yogyakarta dan Solo khas dengan warna sogan yang menyelimuti keningratan.



Hasil karya perempuan-perempuan yang dengan cermat menorehkan ujung canthing berisi cairan malam panas di permukaan kain panjang. Perempuan-perempuan yang menjaga tradisi tertua di Jawa. Keahlian yang diwariskan secara turun temurun melalui tutur kata, yang di setiap goresannya mengandung makna.



Para perempuan pembatik biasanya baru bisa mulai membatik bila semua urusan rumah tangga sudah rampung dikerjakan. Kegiatan yang semula hanya untuk mengisi waktu luang dan memenuhi sandang keluarga, kemudian hasilnya diperjualbelikan seiring perubahan zaman. Motif yang rumit dan proses pewarnaan yang panjang menggunakan pewarna alami menjadi penguji kesabaran. Selembar kain berhias pun terselesaikan dalam hitungan bulan, bahkan ada pula yang dikerjakan sampai setahun lamanya. Maka pantaslah bila batik tulis kemudian disahihkan menjadi warisan dunia, diakui sebagai sebuah kekayaan peradaban manusia.



BERKREASI DENGAN TRADISI

Kurang bangga apalagi kita, ketika pada 2014 lalu, Yogyakarta dinobatkan menjadi The World's Batik City oleh World Craft Council. Lega rasanya batik Indonesia dilirik dunia. Kreativitas pun berkembang. Motif-motif seperti, parang, sidomukti, truntum, grinsing, lereng, kawung atau motif tradisional lainnya pun dipadukan dengan ragam hias, menambah semarak ragam batik yang kita punya.



Ketika pasaran batik mulai dipemuhi permintaan. Muncullah ' batik printing bak pahlawan. Batik pabrikan yang mampu diproduksi ratusan kali lebih banyak dengan harga ratusan kali lebih murah ini nyaris 'membantai' habis batik-batik tulis dan cap yang tak bisa bersaing harga dan waktu pengerjaan.



Beruntung masih ada kampung-kampung batik yang dari dulu hingga kini bertebaran di Yogyakarta. Dengan menarik wisatawan, mereka berjasa mempertahankan batik tulis dan mengenalkannya pada dunia. Namun, jangan kita lupa pada bibit-bibit muda. Generasi masa kini yang juga harus mengerti, memahami, dan mencintai batik yang sebenarnya.



Coba tampilkan motif-motif batik tradisional Yogyakarta di depan 100 siswa, lalu minta mereka menyebutkan namanya. Kalau masing-masing menjawab 5 saja nama motif dengan benar, bolehlah kita sedikit lega. Tapi kalau kurang dari itu, semacam pertanda ketidakpedulian generasi muda pada pusaka nusantara.







Sebuah pikiran terlintas, mungkin ada baiknya bila setiap sekolah menengah umum di Yogyakarta mewajibkan pelajaran membatik. Bukan hanya dengan teori dan wacana. Setiap siswa di kelas 7 dan 10 di tahun pertama harus membatik sendiri bakal baju seragam mereka. Mulai berkreasi dengan teknik batik cap dan tulis, proses ngelowongi, nyelup, nyolet, nembok, dan nglorod pun dilakoni bersama. Di tahun ajaran berikutnya, mereka sudah boleh bangga menggunakan seragam batik karya sendiri. Bila dilakukan secara berkelanjutan, perlahan akan mengajarkan generasi muda untuk menghargai proses pengerjaan dan mengerti mengapa tradisi batik harus terus lestari.



BATIK UNTUK SEMUA

Ketika baru-baru ini saya tanyakan kepada beberapa teman, ternyata tak semua tahu bahwa nama Yogyakarta makin mendunia karena batik. Jangan salahkan mereka yang tidak tahu, karena dalam beberapa kali persinggahan saya ke kota ini, tak sekalipun saya temui tulisan 'Welcome to Yogyakarta. The World's Batik City'. Tidak di bandara, tidak pula di stasiun Tugu, apalagi terminal bus luar kota. Kalau pun ada, berarti sungguh tak cukup menarik perhatian. Jadi jangan heran, dengan berjalannya waktu perlahan mulailah orang lupa, menganggap penghargaan itu akan abadi tanpa perlu lagi diuji.



Jajaran tiang yang memajang motif-motif batik tradisional lengkap dengan namanya, malah ada di sisi jalan tak jauh dari pasar Serangan. Itu pun saya temukan secara tak sengaja ketika sedang berjalan kaki dari arah Wirobarajan menuju Ngampilan. Usaha yang baik namun kurang menggigit. Tentulah gambar-gambar itu hanya dilewati para pengendara motor dan mobil, kalah perhatian dengan papan-papan iklan raksasa di sekitarnya.






Mungkin lain cerita, andai motif-motif batik tradisional ini tergambar di setiap pintu (rolling door) toko, dari mulai Tugu sampai ujung selatan Malioboro. Bayangkan saat malam tiba, ketika semua toko tutup serentak. Motif batik tradisional Yogyakarta terpampang sepanjang jalan. Dimodifikasi dengan motif batik masa kini. Apa pun bentuk ragamnya, yang jelas setiap pintu toko menampilkan sesuatu yang berbeda. Dan yang paling indah menjadi juaranya.



Dengan begitu, batik tak hanya dinikmati pada siang hari, di kala malam pun ia menjadi penghias kota. Tetap indah sebagai latar belakang tempat pedagang lesehan dan menghibur mata para pelanggan. Deretan toko-toko itu pun menjadi tempat wisata baru, paling tidak akan banyak anak muda yang berfoto di depan setiap toko. Dan inilah Yogyakarta, yang bisa dinikmati siapa saja. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment