Canang & Saiban
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-09-23
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, keharmonisan alam dimulai di saat kita mengawali hari. Pemberian sesaji menjadi jembatan penghormatan kepada Sang Hyang Widhi.
Merupakan sesaji yang dipenuhi bunga warna-warni yang sering didapati di tempat-tempat sembahyang, di depan pura, sudut-sudut toko, atau perkantoran. Bunga-bunga diletakkan di dalam ceper yang terbuat dari janur kelapa dengan sematan batang lidi sebagai pengikat.
Dalam sebuah canang warna bunga disusun dengan aturan tertentu. Setiap warna memiliki makna, ditujukan bagi salah satu dewa yang mereka sembah. Nawa Sangha, 9 dewa penguasa mata angin.
Warna biru, ungu, atau hijau:
Pelambang kesuburan ditujukan kepada Wisnu, diletakkan di sisi atas (utara).
Warna putih:
Pelambang kesucian ditujukan kepada Iswara, di sisi kanan (timur).
Warna merah:
Pelambang energi ditujukan kepada Brahma, di sisi bawah (selatan).
Warna kuning:
Pelambang ketekunan ditujukan kepada Mahadewa, di sisi kiri (barat).
Sementara keempat bunga warna-warni tersebut ditambah irisan daun pandan, diletakkan di bagian tengah canang, yang melambangkan kekuatan penuh dan ditujukan untuk Shiwa.
Selain bunga dalam canang ada peporosan yang berupa sirih, kapur, dan gambir yang melambangkan Trimurti, Shiwa, Wisnu, dan Brahma ‐ dewa utama Hindu. Sekaligus sebagai penangkal kekuatan negatif.
Terkadang diletakkan pula sekeping kepeng (uang logam) di atasnya.
Bentuk canang pun berbeda-beda, memilik makna sesuai pada waktu persembahannya. Canang berbentuk segitiga untuk meletakkan sesaji di pagi hari, bentuk bujursangkar di siang hari, dan bentuk bulat di sore hari. Bila ketiganya disusun berurutan dari bawah ke atas, segitiga, bujursangkar, dan bulat, maka bentuknya mirip seperti orang yang sedang melakukan prosesi sembahyang dengan posisi duduk bersila.
SAIBAN
Tak hanya sesaji dalam bentuk bunga, ada pula sesaji dalam bentuk makanan. Seperti yang saya temui saat sedang membeli klepon (jajanan terbuat dari tepung beras berisi gula merah, dan ditaburi parutan kelapa) di salah satu penjaja kaki lima. Di sudut meja jualan, di atas alas daun pisang diletakkan sebuah klepon di tumpuk di atas canang berisi bunga.
Dalam tradisi Hindu Bali memberi sesaji semacam itu disebut mesaiban atau mejotan. Prosesi yang dilakukan setiap kali usai memasak. Secuil hasil masakan akan dipersembahan terlebih dahulu sebelum disantap. Biasanya di atas wadah dari daun pisang, diletakkan nasi, lauk pauk, garam, bahkan kopi. Pintu keluar atau halaman, sumur, dapur, tempat beras, dan pura kecil tempat sembahyang di rumah menjadi tempat diletakkannya saiban setiap pagi.
Saiban menjadi salah satu cara para penganut Hindu Bali mengungkapkan rasa terima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas rezeki yang diberikan, sekaligus pelebur dosa setelah 'memutus tali kehidupan' hewan dan tumbuhan yang telah diolah menjadi makanan yang akan dinikmati pada hari itu.
Saat meletakkan canang dan saiban selalu ada iringan doa, percikan air suci, dan terkadang disematkan pula dupa yang menyala. Sebuah tradisi yang menjaga keharmonisan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dan sesama makhluk hidup. Antara manusia dan alam ghaib, mengingat keberadaan mereka yang menjaga semesta raya. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment