Menjejak Kampung Naga

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-09-11


Memegang teguh adat-istiadat dan tradisi, menghormati leluhur, bersikap tidak berlebihan, dan bersahabat dengan alam adalah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kampung Naga.


Letaknya desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Persis di tengah-tengah jalur Tasikmalaya-Garut. Ditandai dengan gerbang besar beratap ijuk. Sebuah tugu kujang pusaka menjulang area parkir. Kujang ‐senjata khas masyarakat Sunda‐ berukuran raksasa yang terbuat dari leburan 99 buah senjata kujang dari seantero Jawa Barat.

Menggunakan jasa pemandu ‐warga kampung Naga‐ adalah wajib, karena tak sembarang tempat di kampung ini bisa diambil gambarnya. Selain itu peraturan pertama yang harus ditaati adalah: dilarang membuang sampah sembarangan!




Nagawir adalah nama kampung Naga sebenarnya, Luasnya sekitar 20 hektar meliputi kampung hunian, persawahan, hutan lindung, hutan keramat ‐tempat para leluhur dimakamkan, dan area pemakaman warga. Letaknya di lembah dikelilingi bukit. Untuk mencapai kampung ada 439 anak tangga yang harus dilalui.




Ketika perkampungan mulai nampak, di kelilingi perbukitan. Sawah hijau membentang, di sisinya mengalir sungai Ciwulan dengan tebaran batu-batu besar, hulu sungai ini berada di Gunung Cikurai Garut, bermuara ke samudera Hindia. Sederas apapun hujan melanda kampung ini, air sungai tak pernah meluap melewati batas sungai, karena menurut mereka sebagian besar musibah alam dikarenakan ulah manusia yang tak menghormati alam.




Di pinggir sawah ada sebuah lumbung padi. dan beberapa saung untuk menumbuk padi. Ada beberapa lesung panjang yang terbuat dari 1 kayu utuh. Setiap lesung dipahat 2 buah lubang, satu lubang berbentuk persegi untuk melepas padi dari batangnya, satu lubang berbentuk bulat untuk memisahkan kulit padi menjadi beras.

Sekali menumbuk selama 1 jam menghasilkan 2 kg beras, yang cukup untuk makan sekeluarga selama seminggu. Masyarakat setempat tak ingin membuang-buang beras yang sudah mereka tanam, itulah alasan mengapa padi ditumbuk seperlunya.





Sebelum masuk kampung tampak ada pagar bambu yang dijalin bersilang-silang. Pagar itu membatasi bagian luar kampung tempat kolam-kolam ikan, kolam dengan air yang mengalir tempat mencuci dan mandi anak-anak, bangunan MCK untuk para orang dewasa, serta kandang ternak. Sedangkan di bagian dalam kampung adalah untuk rumah tinggal, masjid, balai kampung, dan bumi ageng ‐tempat yang hanya boleh dimasuki oleh Kuncen dan para tetua kampung pada saat acara adat.




Bentuk rumah masyarakat kampung Naga berupa rumah panggung. Susunannya sangat teratur, menghadap ke utara atau ke selatan, memanjang dari barat ke timur. Berpondasi 20 batu papas dari batu kali dengan tihang luluga di atasnya, teknik anti gempa warisan para leluhur. Lantainya terbuat dari bambu atau papan kayu. Berdinding bilik anyaman sasaq dari bambu yang dibalur kapur. Atapnya merupakan susunan daun nipah dan ijuk.



Setiap rumah memiliki 2 pintu. Satu pintu untuk ruang tamu, satu pintu lagi untuk dapur. Di dalam rumah yang tanpa perabot apa pun selain ruang tamu dan dapur, ada pula kamar tidur dan goah alit (lumbung padi).

Di pintu dapur setiap rumah tergantung rangkain penolak bala, terdiri dari daun palias, darangdan, dan janur kelapa yang dibentuk ketupat kecil. Penolak bala ini diganti setahun sekali pada acara adat selamatan lembur (ruwatan kampung) yang diadakan pada bulan Muharam.



Saat penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat kampung Naga ikut menderita. Pada 1950-an kampung ini habis tak bersisa, dibakar pasukan pemberontak DI/TII. 'Pareumeun obor ' tak hanya berarti mati, gelap, tak adanya penerangan, tapi juga hilangnya jejak sejarah awal berdirinya kampung Naga.




Matahari sudah makin condong ke barat, satu persatu cahaya sinar lampu petromak melewati jendela. Berpuluh-puluh tahun masyarakat kampung Naga bertahan dengan petromak dan lampu tempel berbahan bakar minyak tanah. Pemerintah memberi subsidi minyak tanah 20.000 liter, cukup untuk menerangi 113 rumah di kampung Naga selama setahun.


Tiang listrik dibiarkan berhenti terpasang 500 meter di luar batas kampung, karena bukan listrik yang mereka cari, namun kedamaian hati, adat istiadat leluhur yang tetap terjaga lestari.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment