'Pencerahan' 13 Kilometer di Jatiluwih
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-09-08
Nyali saya sempat ciut melihat beberapa teman yang sudah pernah merasakan 'penderitaan' di Jatiluwih memilih tidak ikut bersepeda. Terbayang bukit-bukit yang harus dilalui di daerah pegunungan ini. "Berapa seram jalur ini sebenarnya? Apa tidak ada pilihan jalanan rata?' tanya saya dalam hati.
Mungkin para pemandu hanya bisa garuk-garuk kepala menyadari bahwa belasan peserta yang akan mereka bawa kali ini lebih sering mengayuh sepeda statis di tempat kebugaran daripada di jalan raya. Teknik dasar bersepeda pun diperkenalkan, mulai penggunaan rem hingga trik agar sepeda lebih mudah dikayuh saat jalanan menanjak. Karena sudah mengenakan helm, sarung tangan, dan duduk di sadel sepeda, siap atau tidak kami jelas sudah ditantang mengayuh sepeda melintasi perbukitan, menikmati pemandangan Jatiluwih dengan cara berbeda.
PERSAWAHAN BERUNDAK
Desa Jatiluwih berada di kecamatan Penebel, Tabanan, Bali. Berada di ketinggian 850 meter di atas permukaan laut. Dikelilingi gunung Batukaru, Sanghiang, Pohen, dan Lesong, persawahan pun dibuat berundak-undak mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit. Tak pernah mengalami kekeringan, di musim kemarau panjang sekalipun. Karena air yang berasal dari danau Buyan, Beratan, dan Tamblingan ini diatur dengan subak, sistem pengairan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Tak hanya melintasi persawahan. Jalanan beraspal berkelok pun melewati hutan-hutan bambu. Ternyata di Bali ada 169 jenis bambu. Ada bambu tali yang kulitnya sangat lentur, juga bambu betung yang sebatang lurusnya berharga ratusan ribu rupiah menjadi incaran para pembuat furnitur. Dari banyak jenis, warna batangnya pun beragam. Hijau, hitam, kuning, sampai yang bermotif tutul. Bambu dengan batang berwarna kuning memiliki harga paling mahal, karena jenis bambu ini hanya digunakan untuk acara-acara keagamaan, seperti ngaben, pernikahan, dan nelu bulanin (selametan bayi saat berumur 3 bulan).
Tapi dengan banyaknya hutan bambu ternyata masyarakat di Bali tak banyak menggunakan rebung sebagai bahan makanan khas. Karena konon dipercaya, terlalu banyak mengonsumsi rebung bisa melemahkan pertahanan batin, sehingga akan mudah diserang oleh kekuatan gaib.
MEMPERTAHANKAN PADI LOKAL
Mendengar lebih banyak tentang Jatiluwih menyadarkan saya bahwa tempat ini bukan persawahan biasa. Ia menjadi istimewa karena pada awal 1980-an, para petani di sana gigih menolak mengganti bibit padi lokal yang mereka miliki dengan jenis padi varietas anjuran pemerintah Orde Baru, hasil penelitian luar negeri yang bisa dipanen 3-4 bulan sekali. Para petani bersikeras tetap menanam padi seperti apa yang diwarisi leluhur terdahulu, walaupun bibit yang mereka tanam baru akan panen 6 bulan kemudian. Bahkan tetap mempertahankan jenis padi Merah Cendana walaupun panen setelah satu tahun ditanam.
Tahun demi tahun berlalu. Pengolahan lahan pertanian dengan cara tradisional masih dipertahankan. Kerbau masih digunakan untuk menarik alat bajak. Bergotong-royong saat musim tanam dan musim panen merupakan usaha bersamayang dilakukan turun-temurun.
Ketika sebagian besar petani di negeri ini mulai terengah-engah menanam jenis padi yang dulu dianjurkan pemerintah. Terus bergantung pada pupuk, obat anti hama, dan pembelian bibit baru saat musim tanam tiba. Tidak bagi para petani Jatiluwih yang tetap memegang teguh keharmonisan alam. Mereka tak pusing saat musim tanam tiba, karena biji padi lokal yang mereka panen bisa ditanam lagi sebagai bibit baru. Menghasil beras organik dengan proses alami yang sempurna. Hasil kegigihan dan kerja keras mereka inilah yang kemudian pada 2012 diakui UNESCO dan hamparan sawah ini pun menjadi Warisan Budaya Dunia.
MEMAHAMI ALAM SEMESTA
Untuk kedua kalinya para pemandu garuk-garuk kepala. Baru kali ini mereka memandu rombongan sepeda menghabiskan waktu hampir dua jam hanya untuk 13 kilometer saja. Bagi saya, boleh dibilang perjalanan bersepeda ini bukan hanya sekedar mengayuh pedal melewati jalanan mulus berkelok dan naik-turun. Terlalu banyak berhenti karena memang banyak hal bermakna yang tak bisa dilewati.
Selain tubuh yang berkeringat, seluruh otot bekerja, semua indera pun menjadi peka. Mata yang dimanjakan indahnya pemandangan persawahan. Kulit yang merasakan semilir angin dan dinginnya udara menjelang sore hari. Telinga yang mendengar segala suara, dari suara kendaraan hingga teriakan teman yang tertinggal di belakang. Hidung yang mencium segala bebauan, mulai dari bau rumput, lumpur, sampai kotoran hewan. Lidah yang mencecap segarnya air dan nikmatnya buah saat istirahat di kala lelah.
Saya sempat pula melihat Bli Darma Putra meletakkan sebuah jeruk dan pisang beralas piring kertas di pelataran pura di pinggir jalan tempat kami beristirahat. Sebagai penghormatan sekaligus ungkapan terima kasih pada kekuatan gaib yang melindungi rombongan di perjalanan. Seperti beberapa pura lain juga banyak kami lewati, di beberapa pojok persawahan juga dibuat semacam tempt meletakkan sesaji. Bertujuan untuk menetralisir segala hal buruk yang mungkin akan melanda dan merubahnya menjadi sesuatu yang baik.
Di perjalanan bersepeda inilah setiap orang bisa mengukur kekuatan diri sendiri, berinteraksi dengan sesama dan alam sekitarnya. Karena sudah jelas bahwa sebenarnya keharmonisan alam raya berada di tangan manusia, tinggal bagaimana kita menjaganya untuk dipertanggungjawabkan pada Sang Pencipta. █
Foto: Negeri{Kita}Sendiri, Dolly Putra, Prast Lampard.
Baca juga:
»
http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=185/>Kecak & Epos Ramayana
»
http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=184/>Wayang Listrik dari Gianyar
──────────────────
Perjalanan #JejakMahakarya #MahakaryaIndonesia (15-20 Agustus 2016) ini diikuti perwakilan dari blogger, fotografer, videografer, dan media. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #JejakMahakarya
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment