Kecak & Epos Rayamana

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-08-24

Tak ingin terlambat, saya dan teman-teman rombongan #JejakMahakarya harus berjalan cepat menuju tempat pertunjukan Kecak sore itu. Ujung tebing Pura Uluwatu hanya sempat saya nikmati sekilas, berlatar lautan luas dengan warna langit biru kekuningan. Tak lama setelah kami duduk di lantai semen di pinggir arena pertunjukan, seruan "cak... cak... cak...
cak... cak..."
sayup-sayup terdengar. Para penari belum tampak, namun 'getaran' suara mereka sudah membuat bulu kuduk saya berdiri.


"Cak... cak... cak...
cak... cak..."

Seruan itu berasal dari puluhan lelaki bertelanjang dada yang memasuki arena pertunjukan dengan langkah-langkah lebar. Pinggang hingga lutut mereka terbalut 'saput poleng', ‐kain bermotif kotak-kotak berwarna hitam putih. Dengan gerakan serempak mereka membentuk lingkaran berlapis mengelilingi lampu minyak yang menyala tepat di tengah arena pertunjukan. Tangan-tangan menjulur ke atas, telapak tangan mereka tak henti bergoyang. Irama decakan berganti, begitu pula gerakan tubuh, sambil duduk bersila badan mereka condong ke depan, menyamping, dan tiba-tiba berhenti bergerak.



RITUAL DI AWAL PERTUNJUKAN

Suasana mendadak hening. Seorang pemangku adat berjalan dan berdiri di tengah lingkaran. Mengenakan baju dan penutup kepala serba putih. Memanjatkan doa dan menciprati para penari Kecak dengan air suci yang dibawanya di dalam bokor kuningan. Ritual menjadi keharusan, untuk mengusir hal-hal negatif agar tak mengganggu jalannya pertunjukan.






"Cak... cak... cak...
cak... cak..."

Irama decakan kembali cepat. Para penari lain datang dan bergerak gemulai di tengah lingkaran. Lengkap dengan tata rias dan busana yang penuh manik-manik berkilau. Penggalan cerita Ramayana pun digelar, tentang Rama, Shinta, dan Laksamana yang dibuang ke hutan Dandaka. Shinta meminta Rama menangkap kijang emas yang memikat hatinya. Rama mengejar kijang yang ditarikan dengan sangat lincah oleh penari berkostum kuning keemasan lengkap dengan tanduk dan gelang kaki bergemerincing. Laksamana yang semula menemani Shinta kemudian mengikuti Rama masuk ke dalam hutan.



Giliran Rahwana muncul, raut wajahnya yang gelap dan seram tampak geram karena usahanya menculik Shinta selalu gagal. Ketika Rahwana yang tinggi besar bertukar tempat dengan sosok kurus kecil, adegan ini menggambarkan jurus tipuan licik Rahwana yang berubah rupa menjadi bhagawan, dan akhirnya Shinta pun berhasil diculik paksa.



Irama Kecak berganti-ganti sesuai adegan. Melambat kala penari bergerak gemulai, berubah cepat ketika adegan perang mulai bergolak. Dengan mulut terkatup rapat, para penari merubah raut wajah. Rama menyipitkan mata ketika meregang busur saat hendak memanah kijang emas, layaknya orang yang sedang membidik sasaran. Pancaran ekspresi sedih Shinta tampak jelas ketika Rahwana berhasil menculiknya, mengangkat dan mendudukkannya di bahu. Sebuah penggabungan tari dan teater yang dikemas rapi.





INI DIA JUARANYA!

Langit mulai menggelap dan semua mata tertuju pada sosok Hanoman yang berdiri di atas gapura. Alih-alih masuk ke dalam lingkaran, kera putih ini melompat menerobos kerumunan dan duduk di pangkuan penonton. Mengelus-elus kepala beberapa penonton dan bergaya mencari kutu di rambut mereka. Layaknya kera yang tak bisa diam, Hanoman duduk di pegangan tangga lalu dari atas melorot ke bawah, tapi tiba-tiba melompat sambil menepuk-nepuk bokongnya. Kontan gemuruh tawa penonton terdengar riuh. Sorakan kembali bergemuruh, ketika Hanoman melompat dari ketinggian menyerbu masuk ke dalam lingkaran, menyerang para raksasa dan mencopot rambut palsu salah satu raksasa
ha... ha... ha....



Sebagai konsumsi wisata, pertunjukan ini sangat interaktif dan menghibur. Walaupun banyak wisatawan manca negara yang kaget dan ketakutan saat sosok kera ini datang mendekat, bahkan membuat beberapa anak kecil menjerit histeris. Hanoman mendobrak batas, menyatukan tarian yang berpusat di lingkaran dengan penonton di sekitarnya.






Ketika adegan Hanoman ditangkap para raksasa. Para penari Kecak diam tak bersuara. Lampu minyak yang berada di tengah lingkaran dibawa pergi. Jerami ditebar mengelilingi Hanoman yang duduk bersimpuh dengan tangan terikat di belakang. Pemangku adat kembali memasuki arena pertunjukan, menghampiri Hanoman dan memercikinya dengan air suci. Begitu ritual selesai dilakukan, api menyala, jerami terbakar. Hanoman kobong!



Inilah alasan mengapa pertunjukan ini digelar menjelang senja. Adegan Hanoman melompat keluar dari api, dan menendang dan menginjak-injak jerami menjadi lebih dramatis. Penari Kecak 'berubah' menjadi pasukan kera, mengikuti Hanoman yang berperang melawan Rahwana. Tubuh Rahwana dijunjung tinggi oleh para penari Kecak. Dari jauh Hanoman berlari, melompat, dan berdiri gagah di bahu para penari Kecak, menerkam Rahwana, lalu mencabut mahkotanya. Dalam siluet, gelap terang adegan tersebut menjadi sempurna.



MENYUSURI JEJAK KECAK

Tarian Kecak berakar dari tarian Sang Hyang Dedari. Sebuah tarian sakral yang dijadikan ritual dan dipercaya bisa mengusir roh jahat yang menganggu desa. Dalam tarian ini belasan lelaki pengiring duduk bersila sambil mengeluarkan suara "cak... cak... cak...
cak... cak..." dengan ritme-ritme tertentu, yang membuat penari bergerak dalam keadaan kerasukan roh. Konon penarinya pun dipilih, hanya para gadis belia yang belum menstruasi dan masih suci yang bisa menjadi penghubung berkomunikasi dengan para dewa dan leluhur. Tarian ini sempat diabadikan oleh Walter Spies pada 1931 dalam film dokumenter hitam-putih. Tarian Kecak yang kita kenal sekarang, merupakan temuan jenis baru pertunjukan Ramayana yang dikembangkan oleh I Wayan Limbak. Dikenal juga dengan sebutan tari Cak, dinamai sesuai dengan suara yang keluar dari mulut para penarinya yang dinyanyikan berulang-ulang-ulang, terus-menerus selama satu jam dengan struktur yang rapi. Salah satu penarinya bertindak sebagai pemimpin yang memberi 'tanda' perubahan irama maupun gerakan.



Pada 1971, Sardono W.Kusumo sempat pula mengkoreografi tarian Kecak dengan ratusan penari dari berbagai usia. Terjadi pro-kontra karena kala itu tkoreografinya dianggap terlalu modern oleh masyarakat Bali. Padahal, seiring berjalannya waktu, kemudian bermunculanlah kelompok-kelompok tari Kecak yang dimainkan untuk menarik wisatawan dengan koreografi yang beragam menjadi sebuah pertunjukan yang menawan. █



Jangan lupa!

Lokasi: Pura Uluwatu, Bali

Tiket: Rp100.000/orang

Jam pertunjukan: 17.00 ‐ 18.30

Kalau perlu, lakukan reservasi terlebih dahulu:

I Nyoman Adi Ardika ‐ 0816 297 032

I Nyoman Sudarta ‐ 0816 470 7984

I Nyoman Sukrasena ‐ 0812 399 0063

Datanglah paling tidak 1,5 jam sebelum pertunjukan, karena selain bisa berkunjung ke Pura Uluwatu, Anda juga bisa memilih tempat duduk yang menghadap ke laut. Anda bisa menyaksikan pertunjukan dengan latar belakang matahari terbenam.



Baca juga:

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=187/>'Pencerahan' 13 Kilometer di Jatiluwih

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=184/>Wayang Listrik dari Gianyar



──────────────────


Perjalanan #JejakMahakarya #MahakaryaIndonesia (15-20 Agustus 2016) ini diikuti perwakilan dari blogger, fotografer, videografer, dan media. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #JejakMahakarya

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment