Bali: #JejakMahakarya 2016

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-08-14

Mengapa Bali? Pertanyaan ini muncul dari teman-teman yang menganggap Bali sebagai tempat liburan mainstream, karena memang terbukti untuk sebagian orang kalau budget mepet tapi sakau berlibur, Bali menjadi solusi.


Setelah menjejak lembah Baliem (Papua) pada 2015, dan mengingat sejarah rempah di Ternate-Tidore (Maluku Utara) pada 2014. Bali yang menjadi tujuan #JejakMahakarya 2016. Alasan utamanya karena pulau Dewata ini lekat dengan semangat Jiwa Indonesia. Ketekunan, kegigihan, kerendahan hati, dan gotong-royong masih dipegang teguh oleh masyarakat di sana. dicerminkan dengan tingkah laku kehidupan sehari-hari.



Bayangkan betapa mereka patuh pada ajaran agama Hindu Bali, menyiapkan sesaji berupa racikan daun pandan dan bunga-bungaan kemudian diletakkan di tempat-tempat sakral seperti di pura kecil di sudut rumah, di depan pintu, di dalam toko, di bawah pohon besar, di dalam mobil, bahkan di perempatan jalan. Sesaji akan diganti setiap pagi.



Masyarakat Bali hidup dalam prinsip yang 'bersih' bahwa mereka percaya adanya karma. Karena yakin setiap perbuatan baik akan berbalas kebaikan, oleh karena itulah mereka enggan melakukan kejahatan, karena ditakutkan akan berbalas keburukan atau bencana. Perbuatan baik itu pula yang membawa mereka pada samsara, atau yang lebih dikenal dengan reinkarnasi. Siklus ini akan terus berlangsung hingga roh suci (atman) mereka menjadi sangat baik dan bersih sehingga bisa mencapai moksha.



Jadi, pada 15-20 Agustus 2016 nanti, selain pantai landai di Kuta dan Sanur, #JejakMahakarya akan mengunjungi pantai dengan tebing-tebing curam di Tanah Lot dan Uluwatu. Kedua tempat ini terkenal dengan kemegahan pura yang berada di ujung tebing. Tempat sembahyang umat Hindu yang didirikan oleh Majapahit saat hendak menaklukkan Bali pada abad ke-6. Selain itu, untuk konsumsi wisatawan, pada sore hari di kedua tempat ini pun digelar tarian Cak. Ditarikan oleh puluhan orang penari lelaki yang bertelanjang dada, duduk bersila di tanah membentuk lingkaran. Dipimpin oleh seorang penari, mereka bergerak seirama. Tak ada iringan lagu selain irama dari mulut para penari berseru "Cak! Cak! Cak!"



Desa Jatiluwih menjadi tempat lain yang wajib dikunjungi. Sebuah desa di Tabanan yang terkenal dengan persawahan terasiringnya. Pengairan dengan sistem subak menjadi andalan untuk menyuburkan persawahan yang bertingkat-tingkat di punggung bukit. Di Bangli ada juga sebuah desa tua yang mempertahankan budayanya, desa Panglipuran, ke sana pula kami akan singgah.



Kenyang sejarah dan budaya, acara senang-senang pun ada. Antara lain, rafting di sungai Ayung, snorkeling di Ceningan, dan tentunya mencicipi segala macam kuliner khas setempat. Siap-siap! Bali, kami dataaang! █

(Foto: www.pixabay.com)

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment