Persembahan Cinta 3 Srikandi
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-08-10
"Kelian mau senang-senang boleh. Asal jangan di belakang-belakang Abang begini, "kata Donald Pandiangan, yang memergoki ketiga anak latihnya pulang malam-malam sehabis nonton film di bioskop.
Beban berat pun ada di pundak Reza Rahardian, yang harus memerankan atlet panahan berdarah Batak. Walau jauh dari penampakan Donald Pandiangan yang berkulit gelap dan bertulang rahang tegas, namun ternyata Reza yang memiliki tipikal wajah 'kekinian' mampu berakting serius, kalimat-kalimat berlogat Batak secara fasih dan lancar meluncur cepat dari mulutnya.
"Saya melatih dengan cara saya sendiri," tegas Donald Pandiangan pada Udi Harsono. Latihan keras dengan disiplin tinggi pun diterapkan dan harus dipatuhi ketiga atlet yang terpilih seleksi, yaitu Nurfitriyana S. Lantang (DKI), Lilies Handayani (Sulawesi Selatan), dan Kusuma Wardhani (Jawa Timur). Mereka harus bisa memanah sambil berdiri di atas tong yang digulingkan, tumpuan yang terus bergerak dan kaki yang gemetar menahan keseimbangan. Berlatih di tengah guyuran hujan, di tepi pantai dengan suara ombak keras memecah karang dan angin laut yang bertiup kencang agar tetap bisa menjaga konsentrasi membidik anak panah tepat sasaran.
Sutradara Iman Brotoseno juga membumbui cerita dengan konflik dan drama kehidupan ketiga tokoh Srikandi. Bunga Citra Lestari memerankan sosok Yana, mahasiswi ibukota ini pandai, gigih, dan tak bisa melepaskan kecintaannya pada cabang olahraga panahan walau tanpa restu dari ayahandanya. Sementara Tara Basro memerankan Kusuma, perempuan pendiam dari Makassar yang diharapkan orangtuanya menjadi PNS agar masa depannya lebih terjamin. Dan Chealsea Islan yang terbiasa dengan peran sebagai anak manis, di film ini memerankan Lilies yang cerewet dan memiliki logat medok Jawa Timuran. Ia menentang keinginan ibunya yang ingin menjodohkannya dengan seorang pengusaha kaya raya. Dibanding Yana dan Kusuma, Lilies sering bertingkah kekanak-kanakan dan sering memberi ide-ide sak uenak udele. Seperti ketika mereka lelah berlari di jalanan desa, Lilies mengusulkan untuk pulang naik angkutan pedesaan. Sekali-kali nakal tak apa, pikir mereka.
Kepanikan pun terjadi ketika ternyata Bang Pandi ‐panggilan untuk Donald Pandiangan, mencegat dan naik kendaraan yang sama. Ketiganya berusaha menutupi kepala, merunduk, menghadap ke belakang, berharap sang pelatih tak melihat. Di sini suasana bioskop riuh dipenuhi tawa penonton yang tak ada habisnya melihat kebodohan mereka bersembunyi. Adegan-adegan, kalimat, dan tingkah polah yang lucu pun menghias cerita.
Saking tak ingin melewatkan satu titik pun detail cerita, saya malah jadi terganggu melihat adegan Lilies yang membawa tumbler berwarna merah muda saat latihan membawa. Tahun berapa sebenarnya setting film ini? Adegan lain yang mengganggu adalah pada saat Donald Pandiangan masuk ke stadion dan Udi Harsono berdiri menyambut sambil memegang botol plastik air mineral. Sudah adakah produk tersebut pada zaman itu? Dan ketika adegan Donald Pandiangan kesal lalu menendang galon air mineral. Pertanyaan yang sama pun muncul kembali.
Rasa penasaran saya soal air mineral terjawab. Karena ternyata, air mineral dalam kemasan sudah diproduksi di Indonesia pada 1974, namun pemasarannya masih terbatas di toko-toko pengecer yang melayani penjualan produk khusus untuk para ekspatriat. Sayangnya, tak ada informasi bagaimana bentuk kemasannya kala itu. Tapi kalau soal tumbler, saya yakin di akhir tahun 80-an tempat minum masih berupa termos bertali panjang, bukan botol plastik bening seperti yang dibawa Lilies saat latihan.
Masalah air mineral dan tumbler pun terlupakan begitu mendengar lagu KLA Project dan Vonny Sumlang. Saya juga menikmati kembalinya fashion 80-an, ice wash jeans, kaos yang dimasukkan ke dalam celana baggy dengan bagian bawah yang dilipat mengecil, juga rok lebar yang dipadankan dengan sepatu kets. Secara keseluruhan memang masih tampak kurang jadul, tapi usahanya bolehlaaah....
Walaupun tahu film ini berdasarkan kisah nyata dan berakhir happy ending, tetap saja deg-degan menyaksikan adegan pertandingan di Olimpiade Seoul. Deretan papan sasaran di tengah lapangan dan peserta lomba panahan dari berbagai negara sudah berdiri sejajar. Hati ciut dan ikut kecewa ketika satu persatu Srikandi kehilangan kesempatan merebut medali. Dan kembali bersemangat ketika mereka berhasil masuk final memperebutkan medali perak di kelas beregu. Tampaknya tak hanya saya yang menahan nafas, tegang melihat busur direntangkan, berkonsentrasi membidik, dan ketika anak panah dilepas terbang dan menancap tepat di tengah sasaran. Sontak seisi bioskop bersorak riuh dan bertepuk tangan. Rasanya semua penonton turut mendapat medali. Luar biasaaa!
Film yang diwarnai semangat pantang menyerah ini patut dijadikan film keluarga. Menanamkan kembali semangat kebangsaan pada generasi muda, untuk berbakti dan membuktikan cinta pada negara. Karena di tangan kitalah terletak kesempatan untuk mengangkat kembali nama Indonesia. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment