Kali Pertama Naik Kapal Besar

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2013-05-14

"Waduh! Berangkat nggak, nih?" teriak saya sambil meloncat panik dari tempat tidur. Mata masih lengket membaca sms dari seorang teman baik yang mencari 'pengganti' Bude-nya yang batal berangkat ke Raja Ampat. Tujuan yang bikin otak saya seperti tersengat listrik. Tidak diberi kesempatan berpikir lama-lama, jawabnya harus segera: 'Iya' atau 'Tidak'. Setelah mengiyakan, saya baru tahu bahwa saya akan ikut rombongan Jambore Nasional Lansia ha...ha... ha...




Dalam 3 jam setelah mengiyakan, saya sudah duduk manis di aula Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang dipenuhi para lansia. Rencananya perjalanan akan dilakukan selama 2 minggu, menggunakan kapal PELNI ‐KM LAMBOBAR, dari Tanjung Priok ke Sorong. Empat hari perjalanan dari Jakarta ke Sorong, lima hari di Waisai - Raja Ampat, dan empat hari lagi untuk kembali dari Sorong ke Jakarta. Ini pengalaman hebat! Ini kali pertama saya naik kapal PELNI, kali pertama pula bepergian bersama 362 orang lansia.


Kehebohan sudah dimulai saat rombongan berkumpul di Tanjung Priok. Jumlah koper dua kali lipat dari jumlah peserta yang berangkat. Yang jelas para porter yang kebagian rezeki hari itu.





Rombongan mendapat tempat di kelas ekonomi wisata, full satu lantai dek 6 'dikuasai' para lansia. Di dek ini tersedia 6 kamar mandi, masing-masing dengan 2 kamar mandi (shower), dan 2 toilet.

Ketika mata saya mulai terpejam lewat tengah malam, sayup-sayup mulai terdengar satu-persatu suara orang mengobrol. Jam masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari, dan beberapa sesepuh itu sudah sibuk antre mandi. Termasuk ibu yang tidur di sebelah saya, yang bolak-balik menyuruh saya mengantre kamar mandi.

"Biar yang mandi yang sepuh-sepuh dulu, bu," kata saya, si ibu sepuh mengangguk-angguk. Saya pun kembali masuk ke dalam sleeping bag. Alhasil ketika saya bangun pagi, sudah tidak ada lagi yang memakai kamar mandi. Jadi saya malah bisa mandi tanpa harus terburu-buru.


Di kapal tidak boleh seenaknya memakai air. Berkali-kali terdengar pengumuman dari petugas kapal untuk menutup keran rapat-rapat, dan peringatan 'Dilarang Mencuci.' Bila hendak mencuci, di kapal tersedia jasa laundry. Tapi itu pun juga harus adu cepat dengan penumpang lain, karena bisa saja cucian kotor Anda ditolak, karena orderan nyuci sudah terlalu banyak.





Banyak penumpang yang ternyata menggelar lapak dagangan di kapal. Mulai kaos, selimut, jam tangan, ikat pinggang, dompet, tas, koper, sampai ponsel yang dijual dengan kartu perdana, sayangnya dia tidak jualan sinyal.

Sinyal ponsel memang jadi barang mahal di kapal, yang hanya didapat saat mendekati daratan. Di saat itulah semua ponsel akan berdering, ramai berdenting. Termasuk ringtone ponsel salah satu rombongan yang mengalunkan soundtrack film Titanic. Mungkin khusus untuk perjalanan ini ringtone-nya diganti sesuai tema. Tapi, kira-kira si ibu menonton film itu sampai selesai, nggak ya? ha... ha... ha...


Ransum makanan di kapal berupa nasi kotak yang dibagikan tiap jam makan.

Pada siang hari pertama, menunya adalah nasi putih, tumis kol, dan sepotong ikan tongkol goreng. Menu malamnya adalah nasi putih, tumis sawi, dan sepotong ikan bandeng.

Di hari kedua, menu sarapannya boleh memilih nasi putih atau bubur dengan telur rebus. Menu siang harinya, nasi putih, tumis kol, dan sepotong ikan tongkol goreng. Menu malamnya, nasi putih, tumis sawi, dan sepotong ikan bandeng. Coba apa yang sama dari menu-menu tersebut? ha... ha... ha...

Di hari ketiga ada perubahan menu sarapan, nasi putih dan telur dadar. Tapi siangnya menu berulang lagi! Hu... hu... hu... saat makan malam saya sudah tidak mampu membuka kotak makanan lagi.


Akhirnya, saya memilih membeli mie instan, roti, atau bakso. Itu pun saya beli bila saya sudah merasa lapaaar sekali. Karena kalau tidak ngirit begitu, bisa bolong juga dompet saya cuma buat jajan di perjalanan.

Di kapal makanan dan minuman agak mahal. Semua harganya kelipatan 5000, mungkin biar tidak repot ngurus kembalian. Harga teh-kopi, mie instan, roti isi, minuman ringan 5000-an. Lauk (ayam bumbu bali, telur balado) 10.000-an. Bakso, nasi goreng, harganya 15.000-an. Naaah, bubur kacang hijau segelas harganya 7500, tapi harus beli dua gelas.






Dalam perjalanannya menuju Papua, KM LAMBOBAR sandar di Surabaya dan Makassar. Di setiap pelabuhan akan memakan waktu 2-4 jam untuk menurunnaikkan penumpang dan barang. Di Makassar rasa lapar sudah tak tertahan. Saya turun, naik becak minta diantar ke warung Coto Makassar mana saja. Tampaknya efek rindu 'makanan darat' baru terasa, semangkuk coto dengan lontong dan telur asin tandas dalam sekejap.





Tidak bosan berhari-hari di kapal? Nggak, tuh. Ada saat-saat 'berburu' sunrise dan sunset, menonton rombongan taekwondo anak berlatih di geladak, bahkan sering juga saya duduk menonton orang berjudi ha... ha... ha...






Ada waktunya keluyuran, duduk-duduk di kafetaria di geladak atas sambil memandang laut lepas dan pulau-pulau yang dilewati, atau ngobrol ngalor-ngidul dengan penumpang lain. Sempat pula diajari mengunyah pinang (menyirih) oleh beberapa orang Papua. Betul kata beberapa penumpang teman ngobrol saya selama di kapal, "Naik tra kenal, turun su jadi sodara."


Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment