Menyesapi Jiwa Indonesia dengan Jejak Mahakarya

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-07-15

Tahun lalu, lembah Baliem yang berada di dataran tinggi Papua dan dikelilingi pengunungan Jayawijaya menjadi tujuan #JejakMahakarya. Sebuah pengalaman tak terlupakan bisa melihat kegigihan, ketekunan, kesabaran, dan gotong-royong suku Dani yang dikenal pemberani dan (dulu) suka berperang.



Suku Dani tinggal dalam kelompok-kelompok, perkampungannya menyebar di lembah Baliem dan 'lekukan-lekukan' pegunungan. Para lelaki suku Dani berbadan tegap, kepalan tangannya erat menggenggam gagang parang atau tombak untuk berburu. Sementara jemari para perempuannya lincah menyambung butiran kerang menjadi kalung dan gelang. Dengan tekun menyambung helai demi helai akar-akaran, hari demi hari, berganti minggu hingga bulan untuk menghasilkan sebuah noken, tas jaring besar khas suku Dani yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil kebun, kayu bakar, seekor babi, bahkan bayi.



Selain berburu, mereka menanami lereng perbukitan dengan beragam sayuran. Bila masa panen tiba, para mama akan memenuhi noken mereka dengan hasil kebun untuk dijual di Wamena, kota terbesar di sana. Perlu 3-5 hari mereka lalui naik turun gunung, dengan noken yang sarat muatan di sangkutkan di kepala. Berhenti di mana saja menjelang malam dan berteduh di bawah pohon rindang saat hujan datang. Lelaki, perempuan, dewasa maupun anak-anak melintasi jalan yang sama, berjalan beriringan tak beralas kaki. Sungguh kegigihan yang luar biasa dengan kesabaran tanpa batas.



Saat rombongan #JejakMahakarya berjalan menuju Kurima di tengah lembah. Kami bertemu dengan penduduk setempat yang sedang bergotong-royong membangun sebuah honai (rumah khas suku Baliem) di pinggir sungai. Para lelaki menyusun papan-papan kayu membentuk dinding melingkar, menutupi atapnya dengan ilalang dan daun rumbia. Honai yang dibangun jauh dari perkampungan itu sengaja diperuntukkan sebagai tempat singgah, bagi siapa pun yang kelelahan saat melintas dalam perjalanan ke kota.



Gotong-royong juga tampak ketika 'bakar batu' dimulai. Memasak dengan cara tradisional untuk menghormati para tamu yang datang, menghidangkan pernikahan, bahkan kematian. Para mama akan membuat lubang besar di tengah kampung, mengalasinya dengan dedaunan, mengisinya dengan umbi-umbian dan potongan daging babi, lalu menutupinya dengan rerumputan dan menumpukan batu-batu panas di atasnya.



Ada rasa haru dan bangga melihat kayanya adat istiadat dan budaya dalam kehidupan yang sederhana. Jiwa Indonesia memang benar ada. Sangat terasa sampai ujung timur Nusantara, di kaki pegunungan Jayawijaya. Beginilah cara saya mencintai Indonesia, walau bukan dengan mengangkat senjata dan 'berdiri' di garis batas negara. Tapi dengan menikmati keindahan, mengenali budaya, menghormati adat istiadat, dan menjaga alamnya tetap lestari. Sebesar itu pulalah cinta dan bangga saya pada bangsa sendiri.










Pertengahan tahun 2016, #JejakMahakarya akan melakukan perjalanan ke Bali. Bukan hanya untuk berwisata, tapi juga menyesapi kehidupan sehari-hari di pulau seribu pura yang sarat dengan ritual sakral. Tak sabar rasanya ikut dalam perjalanan ke sana, akankah kali ini menjadi #JejakMahakarya kalian juga? █



Ikuti http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=179/> kompetisi Jejak Mahakarya Indonesia 2016

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment