Semua Perjalanan Menyenangkan
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-09-16
Ada alasan untuk jalan-jalan, ada cerita selama perjalanan, dan ada banyak pengalaman yang didapat. Saya sebagai penganut 'happy ending story', berusaha mengakhiri setiap perjalanan dengan kenangan yang menyenangkan
Semasa kecil dulu ‐saat kalau melihat orang masih dengan muka melongo, saat di Indonesia ini cuma ada satu stasiun televisi‐ saya terkagum-kagum dengan salah satu adik ayah dari 10 bersaudara, yang kadang-kadang datang dari Semarang ke Cilacap, kota kecil tempat kami tinggal.
Cutet ‐begitu kami para keponakan memanggilnya‐ adalah seorang insinyur dengan otak yang cerdas luar-biasa. Seingat saya, saat saya masih belajar naik sepeda mini, Cutet sudah memimpin proyek membangun jembatan di beberapa kota di Jawa Tengah.
Orang Palembang bilang, "Maaf ngomong tabik bicaro"... sebenarnya muka oom saya ini nggak ganteng-ganteng amat. Malah kadang kalau dia turun dari mercy tiger yang dia kendarai sendiri, orang suka mengira dia supir bukan yang punya ha... ha... ha... masalahnya walaupun tampil necis dengan kemeja lengan pendek dan celana jeans dan naik mobil cap paling yahud kala itu, tampangnya memang kurang meyakinkan sih, sebagai pemilik mobil.
Kala itu saya tidak mengerti kenapa dengan muka pas-pasan saja Cutet bisa jadi 'flamboyan'. Istrinya tinggal di Semarang, tapi ternyata pacarnya banyak dimana-mana. Ibu saya tak ingin mencap adik iparnya sebagai laki-laki hidung belang, "Anggap saja, Cutet itu orang yang supel dan dermawan", kata beliau.
Pernah sekali waktu ada perempuan datang ke rumah, jauh dari Pemalang, mengatakan bahwa dia istri Cutet, lain waktu ada lagi yang datang dari Yogyakarta dengan alasan yang sama, belum lagi yang dari Karang Pucung ‐sebuah kota kecamatan di dekat perbatasan Jawa Barat.
Ketika saya sudah mulai remaja, Cutet sudah mulai jarang berkunjung ke Cilacap. Kabarnya mengerjakan banyak proyek di luar Jawa. Entah di mana...
Jaman itu yang diandalkan cuma surat berperangko atau telegram. Belum ada telepon genggam, belum ada internet, bahkan pesawat telepon belum dimiliki banyak orang. Istri Cutet di Semarang pun sudah tak berharap lagi suaminya pulang.
Pada 1994, menjelang saya selesai kuliah. Opa ‐ayah dari ayah saya, meninggal di Palembang. Semua keluarga besar berkumpul saat pemakaman. Cutet dicari ke seluruh negeri melalui Radio ORARI, dan muncul di rumah duka pada malam tahlilan ketiga.
Suasana malam itu campur aduk antara sedih dan emosi. Cutet hanya menunduk, dia tahu diri, dipersalahkan bertahun-tahun karena sudah menelantarkan istri dan anaknya di Semarang dan tak pernah memberi kabar. Di sela-sela pembelaan dirinya, Cutet menceritakan alasannya tak bisa datang cepat saat mendapat kabar duka. Kapal dari tempatnya tinggal di Bau-Bau menuju Kendari belum tentu ada tiap hari, dari Kendari barulah dia bisa mencari tiket pesawat ke Jakarta, lalu ke Palembang.
Seorang sepupu yang duduk bersama saya di pojok ruangan berbisik,"Eh, memangnya Bau Bau dimana, sih?" Jiyaaaah!
Empat tahun kemudian, ayah saya mendapat telepon dari seorang perempuan yang mengaku istri Cutet di Bau Bau. Mengabarkan bahwa Cutet meninggal tadi pagi. Dengan suara parau ayah berkata, "Jenazahnya tak usah dibawa ke Jawa. Kuburkan saja, biar tenang dia di Bau Bau."
Tak pernah menyangka, pada Agustus 2014 dalam sebuah ekspedisi ke Sulawesi, perjalanan saya terjadwal 2 hari di Bau Bau. Mungkin Tuhan memberi kesempatan, agar makam Cutet bisa dikunjungi oleh sanak-keluarganya.
Dari Kendari saya harus menyeberang menggunakan kapal cepat ke Bau Bau,namun secepat-cepatnya pun memakan waktu 5 jam. Tinggal pilih mau berangkat kapan, pagi hari atau tengah hari?
Saya jadi teringat alasan Cutet 20 tahun lalu, pasti saat itu transportasi tak semudah sekarang. Penyeberangan harus dilakukan menggunakan kapal motor kayu yang memerlukan waktu sehari semalam dari Bau Bau untuk sampai ke Kendari.
Sepanjang penyeberangan suguhan pemandangannya luar biasa. Pulau-pulau bertebaran, air laut yang biru sejauh mata memandang.
Sampai di pelabuhan Bau Bau, saya cuma bisa melongo. Cuma satu komentar terucap, "Pantesan Cutet nggak pulang-pulang ke Jawa. Lautnya keren banget!" Itu baru lautnya, belum lagi benteng dan keraton Buton yang tak habis dikelilingi satu hari berjalan kaki, makanannya, pantai-pantainya... Hadeeeeuuuuh!
Maksud hati, di sela-sela jadwal ekspedisi yang padat menggila, saya ingin melacak keberadaan makam Cutet. Sayangnya, saya tak punya info apa pun. Karena sudah bertahun-tahun, catatan nama dan alamat istri Cutet di Bau Bau pun sudah hilang entah ke mana. Jadi info yang saya miliki hanyalah, "Cutet dimakamkan dekat masjid." Dan berapa banyak masjid di Bau Bau? Banyak bangeeeeet!
Saya tak berhasil menemukan makam Cutet sampai hari terakhir saya di Bau Bau. Tapi saya yakin, dia tahu niat baik saya. Dan hati saya pun tenang, Cutet meninggal di tempat yang indah. Sebelum melangkahkan kaki ke tangga kapal, hanya satu kalimat yang terucap dalam hati, "Saya pasti ke sini lagi!"
Buat Cutet, ‐Robby Ediono, semoga tenang dan bahagia 'di sana' bisa kumpul dan ngobrol bareng Opa dan Oma.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment