Kakao Indonesia, Bisa Jadi Nomor Satu di Dunia
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-07-02
Siapa yang tak 'tergoda' melihat batangan cokelat terpajang di rak toko swalayan? Beraneka ukuran, bentuk, dan rasa. Harganya pun bervariasi, mulai dari seribu hingga ratusan ribu rupiah. Semua tergantung merek, kemasan, dan bahan.
Kakao berasal dari Amerika Selatan, bibit kakao dibawa oleh Belanda ke Indonesia pada zaman kolonial dulu. Ditanam di perkebunan dan tumbuh subur di tanah beriklim tropis negara kita ini. Namun ternyata, banyak masyarakat kita yang tidak tahu bahwa Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Kenyataan yang seharusnya membuat kita menjadi bangsa yang bangga, karena hasil kakao Indonesia diekspor ke manca negara, termasuk ke Swiss yang terkenal dengan produk olahan cokelatnya.
Pohon kakao tumbuh dengan ketinggian 5-10 meter. Biasanya mulai berbuah dan dipanen ketika tanaman sudah berumur 4 atau 5 tahun. Setiap pohon dewasa menghasilkan sekitar 20 buah. Di dalam setiap buahnya biasanya ada sekitar 30 - 60 biji kakao. Untuk 1 kilogramnya setara dengan 500-an biji kakao. Dengan harga di pasaran mencapai Rp45.000 - Rp50.000 ribu per kilogram. Pada musim panen setiap kebun menghasilkan hampir 1 ton per hektarnya.
Dulu, di daerah perkebunan kakao, anak-anak bersekolah sambil mengantongi biji kakao untuk membayar angkutan umum saat pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Di sekolah pun mereka membeli jajanan dengan menukarnya dengan biji kakao. Biji kakao juga menjadi alat barter resmi para ibu ketika berbelanja ke pasar. Menukarnya dengan beras dan kebutuhan pokok lainnya. Dengan hasil panen kakao pula para petani bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.
Musim berganti musim dan seiring berjalannya tahun, usia pohon-pohon kakao yang ditanam di perkebunan pun makin bertambah tua, usia pohon kakao yang ditanam sudah mencapai 40-50 tahun. Untuk kembali memperbaiki kualitas biji dan jumlah buah yang dihasilkan setiap musim panen, diperlukan peremajaan bibit dan pengolahan lahan yang tentunya memerlukan biaya cukup besar.
Hal ini yang membuat Gubernur Sulawesi Barat, Adnan Anwar Saleh menginisiasi Gerakan Pembaharuan Kakao pada 2006 lalu. Melibatkan para pakar dari beberapa universitas untuk meningkatkan produksi dan mutu kakao. Gerakan ini pun ditetapkan menjadi Gerakan Nasional pada 2008, yang diresmikan oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla. Dan pada kunjungan 2014, Presiden RI Joko Widodo pun mendukung gerakan ini.
Pemberdayaan dan pelatihan petani, serta peremajaan bibit dipusatkan di daerah-daerah penghasil kakao seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Hasilnya sudah tampak. Jumlah panen yang meningkat kembali menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat di sana. Tak berhenti sampai di situ. Sertifikasi produksi dan mutu kakao juga dipersiapkan agar bisa bersaing di pasar global dunia, dan 'pintu' bagi para investor pun makin terbuka.
Namun tak urung kegeraman Gubernur Sulawesi Barat ini meledak, saat kunjungan beliau ke pabrik cokelat Callier Nestle di Interlaken, Swiss. Ternyata Indonesia tidak terdaftar sebagai pemasok kakao di pabrik ini. Padahal kakao yang diolah di sana sebagian besar berasal dari Indonesia. Kegundahan juga mulai dirasa di kalangan petani kakao. Karena sudah setahun belakangan ini kucuran dana dari pemerintah untuk kakao 'tak dialirkan' sebagaimana mestinya. Padahal di saat Pantai Gading dan Ghana sudah mulai beralih pada perkebunan kelapa sawit, otomatis Indonesia menjadi produsen kakao terbesar di dunia. Tak seharusnya kesempatan ini disia-siakan, karena kita bisa jadi nomor satu! Dan seharusnya kita bangga dengan itu! █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment