Antara Wisata & Sang Pencipta
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-06-04
Seingat saya, baru kali inilah saya datang ke sebuah festival yang bertajuk Wisata Pesona Religi. Karena berlokasi di sebuah pondok pesantren, hal pertama yang saya dan Simbok Venus siapkan adalah pashmina. Sekadar berjaga-jaga, dijadikan kerudung apabila tiba-tiba diperlukan.
Masuk melalui gerbang yang dihias dengan gambar Gus Dur dan KH. Hasyim Asyari, saya mengerudungi kepala dengan pashmina, melindungi dari sengatan terik matahari pagi. Tak jauh dari gerbang ada genteng tanah liat yang disusun menjadi pagar persegi panjang. Di dalamnya ditumpuk jerami, di atasnya diletakkan guci, mangkuk, dan bulatan-bulatan dari tanah liat. Tampaknya diibaratkan peralatan makan dan bahan makanan. Ini yang menjadi tempat prosesi Bakar Tanah, sebagai ungkapan syukur pada Sang Maha Kuasa, yang membuat daerah Jatiwangi makmur dan terkenal dengan produksi genteng tanah liatnya sejak puluhan tahun lalu.
MENDUKUNG PRODUKSI LOKAL
Menuju lapangan tempat acara diadakan, ada belasan tenda yang digunakan para pengrajin dan komunitas di Majalengka menjual produk mereka. Di tenda yang menjual peralatan rumah tangga dipajang beraneka produk yang terbuat dari anyaman bambu. Seperti tampah dan bakul, tapi ternyata di tanah Sunda beda ukuran beda lagi sebutannya. Nyiru, boboko, pipiti, pangangen, asepan. Duh, liuer, euy! Ha... ha... ha....
Di tenda makanan, dijual berbagai manisan buah. Saya mencicipi manisan jeruk Bali. Potongannya kecil-kecil, warnanya oranye kemerahan, teksturnya lembut, dan ketika digigit masih terasa sedikit cairan di dalamnya. Ada juga yang menjual nasi Hampas, nasi yang ditanak dengan ampas kecap yang sudah dihancurkan. Disajikan dengan tahu, tempe, ayam goreng, lalapan, dan sambal. Saya juga sempat mencicipi sedapnya kopi racikan Kang Erry, barista asli Majalengka yang mengolah sendiri biji kopi lokal dan memberi merek produknya Sundawangi.
Sebuah tenda bertuliskan Slankers Distro, memasang logo grup musik Slank. Yang dijual antara lain baju batik bermotif logo Slank dan baju koko dengan bordiran logo yang sama. Kreatif, deh! Ternyata Slank memang pernah mampir ke pondok pesantren ini, begitu pula Presiden RI Djoko Widodo beberapa waktu lalu.
Kang Maman —panggilan akrab KH. Maman Imanulhaq, selaku pengasuh pondok pesantren Al-Mizan memang toleran pada banyak hal. Gayanya yang nyantai memakai t-shirt, berkupluk, dan berkacamata hitam ketika bernyanyi di panggung bersama Mojang-Jajaka Majalengka menunjukkan sisi modern kyai muda ini.
Beliau duduk di sebelah Simbok Venus mendaftarkan diri untuk mendonorkan darah di Palang Merah Indonesia (PMI) yang hadir pada hari pertama festival. Beliau sempat berkata, "Wah, bagus juga ya, kalau setiap hari Jumat ada donor darah di sini." Saya pun mengiyakan tanda setuju dan membayangkan kalau 3 bulan sekali sebagian saja dari 3000 santri dan santriwati menyumbangkan darah saat mobil PMI datang. Sayangnya, walaupun Kang Maman sudah memberikan contoh, masih banyak santri dan santriwati yang belum berani menyumbangkan darah. Buktinya, sudah hampir tengah hari petugas PMI jadi lebih banyak menganggur, pendonornya baru 12 orang.
PADUAN BUDAYA TRADISIONAL & ISLAMI
Di depan panggung, digelar tarian Topeng, entah Cirebonan atau Indramayu. Penampilan gadis-gadis yang berbalut baju warna merah ini gemulai tapi enerjik. Selain itu ada juga atraksi pencak silat. Bangga rasanya melihat anak-anak muda yang masih melestarikan kesenian dan olahraga tradisional.
Konser Kampung Jatitujuh tampil dengan alunan musik etnik yang menggunakan gitar, bas, dan gegesek yang terbuat dari bambu. Diiringi gendang dan rebana, syair-syair lagunya membangkitkan rasa kebangsaan. Sementara kelompok musik Hanyaterra yang sudah kondang di manca negara karena alat musik yang mereka gunakan terbuat dari keramik tanah liat juga tampil memikat.
Selaian penampilan hadrah dan maracas oleh para santri yang riuh diiringi tabuhan rebana, dulag dogdang juga dinanti-nanti. Ritual mengarak peti berisi beragam hasil bumi. Setiap peti dipikul oleh dua orang, di bagian depan dan belakang. Sambil memikul peti, mereka menari-nari seiring irama tabuhan beduk dan puji-pujian dinyanyikan. Setelah tetabuhan berhenti dan peti diletakkan di tanah, masyarakat yang menonton pun langsung berebut mengambil hasil bumi yang ada di dalam peti. Dengan seni tradisional itulah rasa gembira dan syukur diungkapkan atas rezeki yang dilimpahkan Sang Maha Pemberi.
Wayang yang dulu digunakan para wali untuk menyebarkan agama Islam digelar pada malam penutupan festival. Ada dua pertunjukan wayang malam itu. Wayang Ajen, yaitu wayang golek kontemporer yang didalangi oleh Ki Wawan Gunawan dan wayang kulit oleh Ki H. Rusdi.
Sebelumnya, KH. Maman Imanulhaq dan Esthy Reko Astuti (Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara) masing-masing mendapatkan sebuah wayang golek dari kedua dalang kondang ini.
WISATA TURUN-NAIK
Al-Mizan merupakan salah satu pondok pesantren yang sangat menjunjung tinggi pluralismedan toleransi beragama. Selama saya di sana tak ada santri atau satriwati yang menatap tajam melihat saya kular-kilir tanpa hijab atau kerudung. Semua orang berderajat sama, walaupun memiliki agama dan kepercayaan berbeda.
Wisata religi memang tak melulu harus Islami, selama festival ini juga bergabung komunitas pencinta alam, seperti komunitas sepeda gunung dan sepeda onthel, juga klub fotografi. Dari klub fotografi-lah kami tahu banyak tempat wisata di daerah Majalengka, yang memajang foto-foto belasan air terjun dan agrowisata terasiring Argapura yang berupa persawahan yang terhampar di punggung dan lereng perbukitan. Kami pun memutuskan untuk pergi ke sana.
Sekitar 2 jam perjalanan kami tempuh menggunakan mobil. Melewati pabrik-pabrik genteng yang cerobongnya masih mengepulkan asap, tanda masih berproduksi. Di perjalanan hujan deras turun. Mobil berbelok ke jalan kecil yang makin lama makin mengecil. Dan setelah bertanya pada penduduk setempat, barulah tahu kami tersasar. Patah semangat sudah hari itu, apalagi langit tetap hitam dan tak ada tanda hujan akan mereda.
Keesokannya, lewat tengah hari kami mencoba lagi ke sana. Walau dalam perjalanan sempat hujan sebentar, tapi kali ini kami berada di jalan yang benar. Mulai tampak bukit-bukit dengan lahan tanam bertingkat-tingkat. Ada lahan persawahan, ada pula lahan pertanian. Kubis, cabai, tomat, dan aneka sayuran ditanaman dengan lajur teratur. Kami datang tepat pada musim tanam, bila datang pada bulan November-April akan lain lagi pemandangannya.
Jalanan terus menanjak, melewati perkampungan demi perkampungan. Curug Muara Jaya berada di kampung Apuy, desa Argamukti, kecamatan Argapura. Tempat parkirnya luas dilengkapi dengan warung-warung makan. Sebuah musholla dan toilet umum yang bersih berada dekat loket pintu masuk.
"Seberapa jauh?" tanya saya pada pengunjung yang baru kembali dari air tejun. Sekitar 200 meter, jawabnya. Jalanan terus menurun dengan anak tangga berliku. Seorang pengunjung dengan muka merah karena lelah, menaiki tangga sambil terengah-engah.
Suara gemuruh mulai terdengar. Dari ketinggian 60 meter air terjun menumpahkan airnya ke kolam di bawahnya yang penuh dengan bebatuan besar. Air mengalir melalui jeram setinggi 13 meter. Para pengunjung turun ke kolam, mencelupkan kaki ke air yang dingin dan berfoto di antara bebatuan. Saya tidak!
Kalau berwisata ke air terjun, selalu saja khawatir terjadi air bah saat saya berada di sana. Jadi selama memotret di sana saya pun tak putus berdoa. Jadi benar bahwa wisata alam berhubungan erat dengan wisata religi, di mana pun kita berada haruslah ingat pada Sang Pencipta. Begitu juga saat kembali menaiki tangga, saya pun berdoa; "Ya Tuhan, kuatkan kaki ini untuk sampai ke atas." █
──────────────────
Perjalanan ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment