Di Ketinggian Bukit Bangkirai
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-05-16
Catatan perjalanan Terry Endropoetro @negeriID keluyuran bareng Eureka Sari @Eurekaditdot ‐salah satu pemenang #GetStranded #telkomselflash, yang mendapat hadiah pergi ke Bukit Bangkirai (Kalimantan Timur), sebuah kawasan wisata alam sekitar 50 kilometer dari Balikpapan. Tempat yang dikenal dengan canopy bridge-nya, yaitu 4 buah jembatan gantung sepanjang 64 meter, yang menghubungkan 5 buah pohon Bangkirai raksasa. Posisinya 30 meter dari permukaan tanah. Berani?
Kami sengaja menunggu semua penumpang turun. Alih-alih turun melalui belalai yang terpasang di pintu depan pesawat, kami malah berbalik menuju pintu belakang. Sengaja turun melalui tangga pesawat agar bisa memotret bagian luar bangunan bandara baru yang mulai dioperasikan pada Juli 2011, menggantikan bandara lama.
Menyusuri terminal kedatangan, hanya ada beberapa petugas bandara yang senyum-senyum melihat kami bergantian pose di samping tulisan WELCOME yang terpampang di sebuah dinding panjang. Gambar seekor monyet bekantan dengan tulisan SAVE ME pun tak lolos jadi tempat foto-foto.
Langit-langit yang tinggi serta warna putih yang mendominasi membuat bandara ini terkesan bersih dan sangat luas. Sampai di pintu keluar bandara pun tak habis kami berdecak kagum.
Beruntung Bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan terletak di sisi jalan raya. Berjalan sedikit ke luar bandara dengan ransel di punggung, kami bisa langsung menyegat angkutan kota ‐yang disebut taksi dalam bahasa setempat. Bermodal nekad tanya sopir, penumpang, dan penduduk setempat, kami menaiki taksi nomor 7, tak sampai 30 menit sudah sampai di Terminal Damai di tengah kota.
Saat itu sudah lewat tengah hari, udara panas terus menyengat, dan kami pun berusaha menahan suara perut yang sudah ribut minta isi sedari tadi. Sebelum kami memutuskan hendak makan dimana, seorang ibu sesama penumpang taksi tadi sudah berbaik hati mengantar kami menuju taksi berikutnya.
"Antar mereka ke Batu Ampar, ya," kata si ibu pada sopir taksi nomor 3, di kaca taksi tertempel stiker bertuliskan terminal Batu Ampar. Menurut info, dari terminal Batu Ampar kami dapat melanjutkan perjalanan dengan travel ke arah Sepaku.
Dan siang itu hanya ada sebuah mobil L300 menuju Sepaku, dengan beberapa calon penumpang yang sudah duduk menunggu. Dari warung-warung makan di pinggir terminal, terdengar suara penjual berseru menawarkan makan, mungkin muka kami sudah tampak sangat pucat karena kelaparan.
"Hei, sopir Sepaku tunggu dulu. Ini penumpang makan sebentar," kata pemilik salah satu warung yang kami singgahi, pada si sopir yang sedang asik mengobrol. Tak terpikir memesan ayam bakar atau ikan yang ditawarkan, mie instan tampaknya cukup untuk sekadar mengganjal perut. Dimakan dengan terburu-buru, suapan terakhir pun masih dikunyah di mulut saat kami harus berlari menuju mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Kami tak mau tertinggal, ini mobil angkutan terakhir menuju Sepaku.
Kawasan Bukit Bangkirai hanya setengah perjalanan menuju Sepaku, kami akan diturunkan di pertigaan dan harus menyambung dengan kendaraan lain. Sayangnya, tak ada kendaraan umum menuju ke sana, jadi harus menggunakan ojek... itupun kalau ada yang lewat, jelas si sopir.
Kami kebagian duduk di bangku belakang, di mobil tanpa AC yang penuh penumpang. Diiringi lagu-lagu lawas Panbers, mobil Sepaku melewati jalanan trans Balikpapan ke arah Samarinda yang lebar, beraspal mulus, naik dan turun bukit.
Di jalan trans Kalimantan tak terbiasa menyebut nama daerah, melainkan dengan istilah kilo ‐kepanjangan dari kilometer. Di pertigaan kilo 38 yang sebenarnya masuk wilayah Samboja, mobil berbelok ke kiri. Kondisi jalanan pun berubah menjadi lebih sempit, berkelok-kelok melintas hutan dan bukit-bukit hijau, dan jurang, mobil berhenti di persimpangan jalan.
Persis di samping gapura besi sederhana bertuliskan samar-samar "Selamat Datang di Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai, Kutai Kertanegara". Walaupun perjalanan untuk sampai ke tujuan masih 7 km lagi.
Saat urusan menurunkan barang dari bagasi dan bayar-membayar selesai, sebuah bus berhenti, terhalang mobil Sepaku. "Menumpang bus tambang saja ke dalam sana," seru para penumpang dan sopir mobil Sepaku.
Sopir bus tambang, melambaikan tangan memperbolehkan kami naik. Setelah dipikir-pikir, walaupun tak terlalu direncanakan, beruntung betul kami tiba di sana sekitar jam 16.30-an, tepat di saat para pekerja tambang batubara over-shift. Duduklah kami di antara para penumpang bus yang semuanya lelaki. Mereka adalah para pekerja shift malam di tambang batubara, rapi dengan balutan seragam oranye.
Dari arah berlawanan, ada belasan bus serupa yang mengangkut para pekerja shift pagi pulang dari tambang ke kota. Banyaknya bus dan beban truk-truk pengangkut batu bara yang lalu lalang di jalan sempit dan berkelok ini, membuat jalan sepanjang 7 km ini tak lagi mulus beraspal.
Sampailah kami di sebuah perempatan, bus berhenti di pos penjagaan. Ini akhir tumpangan kami, karena bus akan berlanjut menuju areal pertambangan. Sambil turun dari bus sempat terpikir, seberapa dekat lokasi tambang dengan kawasan hutan raya ini?
"Kalau mau pulang besok, kalian bisa numpang bus lagi sampai Kilo 38," sopir memberi info, "Tunggu saja di pos sini, kalau pagi jam 04.30, kalau sore ya jam-jam segini." Artinya, memang cuma bus pekerja tambanglah harapan kami satu-satunya untuk keluar dari kawasan Bukit Bangkirai.
Saat kami turun seluruh penumpang bus melambaikan tangan melalui jendela, mungkin lega karena kedua penumpang yang lusuh, berkeringat, dan bau ini akhirnya turun juga... ha... ha... ha... ha...
Ada 3 buah papan kayu dipasang berjajar. Papan bertuliskan Bukit Bangkirai 1 Km, papan tentang larangan berburu, dan papan informasi tingkat bahaya kebakaran hutan, lengkap dengan jarum penunjuk terbuat dari kayu yang mengarah ke bagian berwarna hijau (berarti aman). Walau langit masih terang benderang, namun jam sudah menunjukkan angka 17.00 pertanda kami harus bergegas bila tak ingin malam-malam melintas hutan, di jalanan menurun tanah berkapur dengan secuil lapisan aspal tersisa.
Di tengah jalan, kami sempat berpapasan dengan seorang pengendara motor dari arah berlawanan. Harapan bakal diberi tumpangan ke Bukit Bangkirai langsung pupus ketika dia mengangkat tangan sambil berseru, "Mau ke Bukit Bangkirai, ya? Jalan ke sana, lurus saja," lalu orang itu melanjutkan berkendara pergi menjauh.
Hampir 1 jam kami berjalanan, sampai tiba di gerbang kayu Kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai. Suasana di dalamnya sudah lebih bersahabat dengan adanya suara mesin diesel pembangkit listrik dan rumah-rumah petugas penjaga hutan di komplek itu.
Tempat kami menginap berupa rumah panggung dari kayu, dengan 1 kamar tidur besar, 1 kamar mandi, ruang tamu. Tersedia juga teras di bagian depan dan belakang rumah, tempat kami duduk-duduk dan sempat menyaksikan burung-burung rangkong beterbangan pulang ke sarang, di hutan di belakang penginapan. Paruhnya yang besar berwarna kuning tampak jelas, indah sekali, kontras dengan warna hutan yang hijau.
Kedai di seberang penginapan, adalah tempat menghabiskan malam.
Menu makan malamnya adalah nasi goreng sosis. Porsinya besar luar biasa, tapi ternyata bisa saya habiskan tak bersisa. Tampaknya sebagai penggantikan energi yang terkuras selama perjalanan siang tadi.
Ngobrol santai dengan oom Jon Siahaya dan ibu Nyoman, pasangan Ambon-Bali pemilik kedai. Seorang pekerja tambang yang sedang mampir makan malam di sana sempat kaget mendengar kami berjalan kaki sampai di penginapan lalu berkomentar "Kalian berani sekali, padahal masih banyak beruang berkeliaran di sana," katanya.
Kami pun cuma bisa menelan ludah... bukan masalah berani, kami memang kurang informasi.
Bukit Bangkirai pagi hari riuh dengan suara tonggeret (garengpung) yang berdengung tanpa henti, kicauan burung-burung, owa, dan monyet bersahut-sahutan. Karena berkunjung bukan pada akhir minggu, hanya kami berdua yang memasuki hutan, ditemani bapak Karyadi, pegawai Inhutani yang merangkap guide.
Sebagian jalur tanah masuk ke hutan tertutup daun-daun kering. Dibiarkan tergeletak alami menjadi humus. Suasananya teduh, karena terlindung pohon-pohon besar. Seekor monyet buntut merah berloncatan di pucuk pohon, sambil berkali-kali melempari kami dengan buah kayu batu, sisa makanannya.
Kawasan wisata yang dibuka pada 1998 ini merupakan hutan alam seluas 510 hektar. Ada sekitar 2.800 jenis flora dan fauna, 13 jenis rotan, dan 24 jenis anggrek termasuk anggrek hitam, 113 jenis burung, mamalia dan serangga, juga 3.000 jenis jamur ‐salah satunya kami temui tumbuh di salah satu batang pohon, warnanya putih seperti kapas, jamur yang mengandung fosfor ini akan bersinar terang saat malam hari.
Mengapa dinamakan Bukit Bangkirai? Karena hutan ini mayoritas ditumbuhi pohon bangkirai atau yang lebih dikenal dengan pohon meranti. Pohon Bangkirai berlomba tumbuh tinggi di antara pohon-pohon lain dan tegak berdiri hingga puluhan hingga ratusan tahun. Salah satu pohon Bangkirai rebah melintang menghadang jalan, diameter kayunya 100 cm dengan panjang 40 meter dan usianya sudah 150 tahun.
Akhirnya, sebuah gerbang kayu bertuliskan Canopy Bridge menandakan kami sudah sampai tujuan. Di tempat ini ada 5 pohon Bangkirai raksasa. Di antara pohon-pohon raksasa itu terpasang 4 buah jembatan gantung di ketinggian 30 meter, berbentuk huruf T dengan total panjang jembatan 64 meter. Waaawww!
Tangga kayu dibangun bertingkat mengitari sebuah pohon Bangkirai, untuk jalur naik ke jembatan gantung. Jalur turun berupa tangga kayu bertingkat yang sama dibangun di pohon yang lain, namun tak bisa digunakan karena sedang dilakukan renovasi.
Rasanya biasa saja saat menaiki tangga kayu. Tapi begitu sampai di bagian paling atas, barulah terasa lutut ini melemas. Dari pelataran kayu yang cukup untuk 8 orang berdiri, di ketinggian 30 meter ini yang terlihat adalah pucuk-pucuk pepohonan hutan luas berbukit-bukit dan langit biru jernih. Dengan berpegangan erat pada pagar kayu, sebidang tanah di bawah tampak jauh di bawah sana.
Lebar jembatan gantung hanya sekitar 50 cm, pijakannya terbuat dari kayu yang disusun berderet, hindari berjalan tanpa alas kaki, sandal, apalagi sepatu berhak tinggi bila tak ingin terjepit di sela-sela kayu.
Setelah berkali-kali menarik nafas, saya mulai menyeberang, melangkah perlahan sambil dengan berpegang pada tali-tali baja yang terpasang kuat di kanan-kiri jembatan, dan merasa nyaman dengan adanya jaring pengaman.
Tak perlu mencari sensasi dengan berlari atau melompat-lompat di atas jembatan, karena dengan berjalan pelan pun jembatan sudah berayun. Lega rasanya ketika sampai di pelataran pohon kedua, lalu dilanjutkan dengan menyeberang ke pohon ketiga. Namun jembatan menuju pohon keempat, jaraknya paling jauh. Gentar? Iya. Tapi, mau mundur juga nanggung! Jantung berdegup kencang, untung saja tak sampai terdengar bergema di tengah hutan.
Ketika sampai di pelataran kayu di pohon keempat, bila berputar 360 derajat pemandangan hutan hijau membentang. Seharusnya suasananya damai, kalau saja tak dikagetkan suara mesin potong kayu yang tiba-tiba mendengung di kejauhan, dan truk-truk tambang yang menderu-deru entah dari arah mana.
Seperti menghadapi sebuah ironi, sedih membayangkan hamparan hutan di kawasan wisata alam ini mungkin akan kehilangan ruangnya beberapa tahun lagi. Jelas ada ketidakseimbangan di sini, kepentingan manusia yang mulai mengabaikan alam. Contoh kecilnya seperti coretan yang ditinggalkan pengunjung. Nama, tahun, simbol-simbol ditulis dengan spidol di pelataran dan pagar kayu, bahkan ditorehkan pada batang pohon, yang toh tak menambah keindahan alam.
Perjalanan belum usai. Untuk kembali menapak tanah, penyeberangan harus kembali dilakukan. Walau kini lebih merasa lebih berani, tapi tetap saja ketika hendak menyeberang rasanya jantung saya melorot sampai lutut.
Sepanjang perjalanan kembali ke penginapan, kami tetap bersemangat mendengarkan kursus singkat soal tumbuhan hutan dan pohon. Tapi ada tambahan kegiatan lain juga yaitu memunguti sampah bekas makanan dan minuman yang ditinggalkan sembarangan oleh pengunjung sebelumnya.
Bagaimana kami keluar dari kawasan wisata alam Bukit Bangkirai? Kami beruntung, karena siang itu oom Jon dan ibu Nyoman akan kembali ke Balikpapan. Dan kami diperbolehkan menumpang mobil bak terbuka mereka bersama tabung gas, termos nasi, dan kardus-kardus berisi makanan.
Cuaca cerah, matahari panas terik. Kami memilih berdiri daripada duduk di bak belakang. Angin menerpa kencang dari arah depan. Satu tangan berpegang erat pada besi, satu tangan lagi memegang kamera. Jepret sana-jepret sini, sambil tertawa-tawa. Hasil fotonya? Sebagian miring, sebagian tak jelas apa yang dimau dilihat, karena ibu Nyoman mengemudi mobil seperti seorang pembalap. Mobil kecil itu melintas gesit, naik-turun, berbelok ngebut, menimbulkan debu di jalanan tanah. Meninggalkan hutan indah bukit Bangkirai makin jauh di belakang sana.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment