Ekspedisi Koon, Penantian Tak Sia-Sia

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-04-29

Ketika melihat pesan singkat dari WWF-Indonesia di akun twitter saya, jantung ini langsung berdetak kencang. Begitu pula saat ditelepon dan ditanya, apakah mau bergabung dalam ekspedisi ke Indonesia Timur? Tak memerlukan waktu sedetik, tanpa sadar saya menjawab, "Ya, dengan senang hati! "

Ekspedisi Koon, begitu nama ekspedisinya. Bertujuan mengumpulkan data ekologi ikan dan terumbu karang, melihat kehidupan sosial masyarakat, juga pariwisata di Kawasan Konservasi Perairan Koon (pulau Koon, Grogos, Nukus, Neiden), Seram Bagian Timur, Maluku. Sebenarnya ada sedikit rasa malu, karena di mana letak kawasan konservasi itu pun saya belum tahu. Walau sudah membentang peta Maluku, namun nama-nama pulau itu tak juga ketemu.



Saya yang sedang berada di kota kecil di Jawa Tengah hanya punya waktu lima hari untuk kembali ke ibukota dan mempersiapkan segala hal sebelum terbang ke Ambon. Belum berangkat pun saya sudah sangat bersemangat! Membayangkan akan melakukan perjalanan bersama orang-orang hebat dari WWF-Indonesia, Yayasan TERANGI (Terumbu Karang Indonesia), dan Trinity Traveler yang namanya kondang di panggung wisata.



Sesampai di Ambon, sudah ada penjemput yang langsung mengantar kami ke pelabuhan LIPI di Teluk Ambon, di mana kapal Menami milik WWF-Indonesia bersandar. Kapal kayu inilah yang menjadi 'rumah' selama ekspedisi berlangsung. Live on Board!





Rencananya kapal akan langsung berangkat pada malam harinya. Namun karena urusan surat izin berlayar yang tak kunjung dikeluarkan oleh syahbandar. Ekspedisi yang direncanakan berjalan pada 13-25 April 2016 pun harus mengalami beberapa perubahan rencana.



Selama kapal belum berlayar, semua peserta ekspedisi sudah tinggal, makan, tidur, dan mandi di kapal. Karena belum dilengkapi dengan mesin yang bisa menyuling air laut menjadi air tawar, kapal Menami harus membawa persediaan air tawar. Hanya mampu menampung 13 ton air tawar, jadi untuk mandi dan mencuci tidak bisa seenaknya, 14 peserta ekspedisi ditambah 8 awak kapal harus berhemat dengan mandi sehari sekali dan mencuci 3 kali sehari.



Tak membiarkan waktu terbuang percuma, workshop pun digelar. Membicarakan tentang ekspedisi, apa saja data yang dibutuhkan, bagaimana cara efektif pengumpulan data, termasuk adanya sesi menguji ingatan tentang jenis-jenis ikan dan karang. Ilmu baru pun saya dapatkan, namun saking banyaknya, dalam sehari saja rasanya kepala ini sudah mau pecah, ditambah pula dengan bahasa dan istilah-istilah yang asing di telinga saya.





Bagi sebagian besar peserta ekspedisi, bergelut dengan beragam jenis ikan dan terumbu karang mungkin sudah menjadi 'makanan sehari-hari'. Tidak bagi saya yang langsung berkunang-kunang ketika puluhan gambar ikan dan karang bergantian muncul di layar. Dalam waktu 10 detik, mereka bisa menjawab setiap gambar jenis ikan dan karang, sementara saya sudah langsung putus asa walaupun buku contekan ada di depan muka tak satu pun jawaban yang bisa saya berikan. Tak hanya saat berlangsungnya workshop, saat melihat ikan di pasar pun mereka menyebutnya satu persatu dalam 'bahasa ikan'. Saya yang mengintil di belakang berkali-kali bertanya, "Kalau bahasa Indonesianya disebut ikan apa? " ha... ha... ha....



'Terkatung-katung' di pelabuhan, tak membuat kami mati gaya. Di sela-sela waktu yang ada, kami menyempatkan diri mencari hiburan. Pergi ke mal, ngopi-ngopi di kafe, ada yang 'mandi-mandi' di pantai Liang, makan rujak di pantai Natsepa, belanja ke pasar Mardika, sampai nonggo ke kapal tetangga. Seru dan tambah akrab!







Di hari kelima datang seorang perwira dan 2 orang staff TNI AL Ambon yang akan ikut serta dan menemani selama ekspedisi berlangsung. Dan kabarnya sampai di kawasan konservasi nanti akan bergabung pula 3 orang yang membawa speed boat dari Kei, dan 2 orang dari Dinas Kelautan dan Perikanan Seram Bagian Timur. Kesibukan menghitung berapa orang yang harus berbagi air di kapal nanti pun langsung buyar ketika mendengar mesin kapal menderu, para awak sibuk melepas tali, dan kapal Menami bergerak meninggalkan dermaga. Akhirnya....





Pelayaran pun dimulai, perlahan kapal melintas di bawah jembatan Merah Putih, lalu meninggalkan Teluk Ambon, disambut gelombang laut Banda yang mulai menggoncang perut. Yang tak kuat bersiap-siap pusing kepala, karena perjalanan masih akan ditempuh selama 26 jam lagi. █



Baca juga:

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=142/>Ekspedisi Koon, Penantian Tak Sia-Sia

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=141/>Batnata, Penjaga Kekayaan Laut Pulau Gorom

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=143/>Monumen Gorom

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=143/>Jungkir Balik di Perahu Karet

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=146/>Menjaga 'Surga' di Kawasan Konservasi Perairan Koon

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=148/>Mengelilingi Pulau Koon

» http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=144/>Dari 'Toko Cina' sampai ke Keter



──────────────────


Perjalanan ini terlaksana atas undangan WWF-Indonesia dalam Ekspedisi Koon, sebuah ekspedisi yang mengumpulkan data ekologi, kehidupan sosial, dan pariwisata Kawasan Konservasi Perairan Koon di Seram Bagian Timur, Maluku. Menjangkau pulau Koon, Grogos, Nukus, Neiden dan sekitarnya. Diikuti perwakilan dari WWF-Indonesia, Yayasan TERANGI, TN Wakatobi, Dinas Kelautan dan Perikanan Seram Bagian Timur, TNI AL Ambon, dan blogger. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #XPDCKOON

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment