Menginjak Garis Khatulistiwa
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-02-24
Setelah puluhan tahun hanya melihat gambarnya di buku pelajaran dan layar kaca. Akhirnya bisa juga melihat dengan mata kepala sendiri, Tugu Khatulistiwa.
Inilah tugu hasil renovasi pada 1990, yang berukuran lima kali lebih besar daripada Tugu Khatulistiwa yang dibuat pada 1938. Dibuat semirip mungkin dengan bentuk aslinya, tugu ini memiliki 4 pilar berbentuk persegi menyerupai kayu. Dua pilar setinggi 15,25 meter dan dua lainnya setinggi 22 meter. Anak panah dari logam dibuat sepanjang 10,75 meter, begitu pula lingkaran yang melintang dan membujur.
Tak kuat mendongak dan menahan silaunya cahaya matahari, saya pun beranjak ke dalam gedung di kaki tugu. Sebuah bangunan berkubah berbentuk heksagonal —segi delapan sesuai 8 penjuru mata angin yang dijadikan museum. Tugu Khatulistiwa yang asli dipajang di tengah ruangan, di dinding-dinding museum banyak info tentang antariksa dan matahari. Dan samar-samar teringatlah saya pada pelajaran di kala sekolah dulu, tentang garis khatulistiwa, gerak semu matahari, dan titik kulminasi.
Menentukan Garis 0 Derajat
Khatulistiwa berasal dari bahasa Arab, sebuah garis imajinasi yang bagai melingkari 'pinggang bumi' disebut juga dengan garis lintang ekuator 0 derajat. Garis ini memisahkan bagian utara dan selatan bumi.
Sebagian besar lintasannya ada di atas samudera. Namun ternyata, sedikit wilayah daratan yang berada dalam lintasan garis khatulistiwa malah menjadi pusat pertumbuhan awan dan pembentukan hujan di seluruh dunia. Itulah mengapa 70% hujan dunia turun di khatulistiwa.
Wilayah daratan yang dilintasi antara lain, 5 negara di Afrika (Gabon, Zaire, Uganda, Kenya, Somalia), 4 negara di Amerika Selatan (Equador, Peru, Colombia, Brazil), dan satu-satunya negara Asia yang dilintasi adalah Indonesia. Di Indonesia sendiri, ada 6 provinsi yang berada dalam lintasannya yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Dan Pontianak di Kalimantan Barat menjadi satu-satunya kota besar di dunia yang dilintasi garis khatulistiwa.
Pada 31 Maret 1928, sebuah ekspedisi Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda datang ke Pontianak, untuk menemukan titik garis ekuator di kota ini. Lokasinya ditandai dengan tonggak dan anak panah yang mata panahnya mengarah ke utara. Pada 1930, tonggak tersebut disempurnakan dengan menambahkan lingkaran pada panah.
Pada 1938, dibangunlah Tugu Khatulistiwa yang disempurnakan oleh Silaban, dengan membangun tugu dari 4 buah kayu belian (kayu besi/ulin) yang berwarna hitam. Dua kayu ditanam setinggi 3,05 meter dan dua lainnya dengan lingkaran dan anak panah penunjuk arah mencapai tinggi 4,40 meter. Di bawah mata panah menunjuk arah utara, tertera plat bertuliskan 109°20'00" OLVGR (titik koordinat letak Tugu Khatulistiwa pada garis bujur timur). Pada lingkaran dibuat juga tulisan EVENAAR yang berarti khatulistiwa dalam bahasa Belanda.
Gerak Semu & Ekinoks Matahari
Gerak semu matahari terjadi karena bumi melakukan rotasi dan berevolusi dengan matahari. Sumbu rotasi bumi tidak tegak lurus pada sumbu evolusi matahari, kemiringan 23,5 derajat inilah yang membuat bagian bumi diterangi matahari dengan waktu yang bereda-beda. Dari Maret-September, matahari lebih banyak menerangi belahan utara bumi sedangkan pada September-Maret, matahari menerangi belahan selatan bumi. Dengan begitu terbentuk pula empat musim di bumi, yaitu musim gugur, dingin, semi, dan panas.
Gerak semu matahari menyebabkan fenomena yang dikenal dengan istilah ekinoks matahari atau titik kulminasi. Fenomena saat matahari berada di wilayah khatulistiwa. Setiap tahun matahari mengalami dua kali ekinoks 21 Maret dan 23 September. Pada tengah hari tanggal 21-23 Maret dan 23 September setiap tahun, Tugu Khatulistiwa dan benda-benda dengan posisi tegak yang berada di sekitarnya tidak ada bayangan. Hal ini menunjukkan bahwa tugu ini terletak tepat pada garis lintang 0 derajat. Dan pada tanggal-tanggal tersebut, selalu ada acara yang digelar di tempat ini. Wah, seru pastinya!
Fenomena lain dapat ditemukan di dalam museum. Para pengunjung bisa mencoba membuat posisi telur berdiri tegak. Dari beberapa telur yang disediakan saya mencoba semua telur yang ada agar bisa berdiri tegak, tapi tak kunjung berhasil. Huhhh! Ini bukan masalah logika dan ilmu pengetahuan saja, tapi juga uji kesabaran.
Garis yang Bergeser
Ketika saya tanyakan pada petugas, "Di mana sebenarnya garis khatulistiwa?" Saya dan beberapa teman pun diajak menuju sebuah pelataran luas yang diberi keramik berwarna hitam. Bentuknya segi delapan, masing-masing sudut dihubungkan dengan sebuah garis. Hanya ada satu garis tebal bertuliskan E (east) di salah satu ujung dan W (west) di ujung lain. Saya bisa berdiri di tengah garis khatulistiwa, atau berdiri dengan satu kaki di belahan bumi selatan dan satu kali lainnya di belahan bumi utara.
Mengapa posisi tugu tidak persis pada garis lintasan khatulistiwa? Ternyata, saat pengukuran ulang oleh BPPT pada 2005, ditemukan bahwa titik koordinat khatulistiwa telah bergeser ke arah selatan sejauh 117 meter. Pergeseran tersebut bukan saja terjadi karena bumi berotasi sekaligus berevolusi dengan matahari. Tapi juga disebabkan perbedaan metode pengukuran yang pada 1928 pengukuran dan penentuan garis khatulistiwa masih berdasarkan perhitungan astronomi. Abaikan soal perbedaan metode pengukuran dan pergeseran. Yang penting sekarang garis akuratnya sudah ketemu. Dan Tugu Khatulistiwa tetap bisa menjadi kebanggaan.
Oh ya, jangan lupa ketika hendak pulang mintalah sertifikat bahwa Anda telah sampai ke Tugu Khatulistiwa. Gratis! Tak dipungut biaya. Sayangnya, saat itu kami pulang hanya mendapatkan sertifikat tanpa nama. "Listrik sedang mati, jadi tak bisa mencetak nama pengunjung," kata petugas menjelaskan. Kalau tugu ini berada di garis khatulistiwa, dengan energi matahari yang berlimpah sepanjang tahun. Lalu, mengapa harus bergantung pada listik PLN. Bukankah seharus tugu ini bisa mengandalkan listrik tenaga surya? Kata saya dalam hati....
TUGU KHATULISTIWA
Jl. Khatulistiwa, Pontianak
Telepon: (0561) 881643
──────────────────
Perjalanan bersama para blogger ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #PesonaSingkawang #PesonaPontianak #PesonaIndonesia
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment