Satu dari Seribu Klenteng di Singkawang

Category: Rumah Ibadah • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-03-01

Ketika bertanya pada warga setempat perihal salah satu warung kopi di kota Singkawang, jawaban yang saya dapatkan adalah, "Tempatnya di dekat Peh Kong. " Rasa penasaran pun bukan lagi pada warung kopi, tapi mencari tahu tempat apa yang disebut 'Peh Kong' tadi.

Ternyata Peh Kong yang dimaksud adalah bangunan klenteng tertua di Singkawang. Dibangun ketika daerah di ujung barat Kalimantan ini menjadi ramai oleh para perantau dari daratan Tiongkok, yang dipekerjakan oleh Kesultanan Sambas untuk membuka hutan dan menggali tambang-tambang emas.





Menurut kepercayaan para perantau, setiap hutan memiliki roh penunggu. Maka saat membuka hutan, mereka membangun sebuah pondok sederhana sebagai pelindung yang dilengkapi dengan patung Dewa Bumi (Thu Thi Pekong) dan istrinya. Tempat ini juga akhirnya sering digunakan sebagai tempat beristirahat oleh para pelancong atau pedagang yang lewat.



Pada 1920, pondok sederhana ini pun diubah menjadi tempat yang lebih layak sebagai klenteng walaupun hanya bertahan selama sepuluh tahun karena kemudian habis terbakar. Dari puing-puing kebakaran, ditemukanlah patung Toa Peh Kong (penyebutan Thu Thi Pekong dalam dialek lokal) dan istri yang masih utuh, tak terbakar sedikit pun.





Baru pada 1933, klenteng dibangun ulang. Patung Toa Peh Kong dan istri diberi tempat terhormat di altar utama klenteng. Tempat ini pun dikenal dengan sebutan klenteng Toa Peh Kong, yang kemudian diberi nama Vihara Tri Dharma Dewa Bumi Raya.



Klenteng ini menempati satu pojok jalan di pusat kota Singkawang. Walau bangunannya tak terlalu besar, tapi tanahnya yang 'mengantong' dipercaya membawa banyak keberuntungan dan rezeki baik. Bangunan klenteng yang khas dengan naga dan bola api sebagai penghias atap. Memiliki tiga pintu masuk, tiang-tiang penyangga berhias tulisan Cina, dan dua patung singa yang terbuat dari batu. Saat memasuki bangunan klenteng, saya mengarahkan pandangan ke atas. Beberapa dinding digambari dewa-dewi dan 27 lingkaran berukir naga emas menghias langit-langit.









Meja besar yang dikelilingi deretan lilin-lilin raksasa berada di tengah ruangan semi terbuka merupakan meja persembahan untuk Toa Peh Kong, yang patungnya jauh di bagian belakang ruangan, posisinya lebih tinggi dari pada patung Dewa Kok Sin Bong di sisi kanannya, dan Dewa On Chi Siu Bong di sisi kirinya, yang masing-masing juga memiliki meja persembahan, namun ukurannya lebih kecil daripada meja persembahan untuk Dewa Bumi.









Dua buah tiang besar berhias relief naga menyangga langit-langit yang terbuat dari kayu. Harum yang berasal dari hio-hio raksasa berbentuk spiral yang menggantung di dekat altar menambah aura magis sekaligus sakral kental terasa. Ditambah bedug dan lonceng yang digantung berdekatan sesekali dibunyikan bila ada orang yang bersimpuh dan berdoa.



Saat meninggalkan klenteng, mata saya tertuju tulisan yang menghias pagar. "Berteman dengan orang yang berkarakter mulia seperti masuk ke dalam sebuah kamar yang penuh dengan mawar yang wangi. Jika kamu tinggal di ruangan itu cukup lama, kamu pun akan menjadi wangi." ‐Konfusius



──────────────────


Perjalanan bersama para blogger ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia.
Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag
#PesonaSingkawang #PesonaPontianak #PesonaIndonesia

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment