Tatung, Atraksi Percampuran Budaya
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-02-29
Pada hari ke-14, sehari sebelum perayaan Cap Go Meh, suara tetabuhan sudah terdengar dari segala penjuru kota Singkawang, Kalimantan Barat. Gendang, gong, dan kecrek tak berhenti dibunyikan selama para tatung melakukan ritual 'bersih jalan'.
Restu dari Para Dewa
Klenteng Toa Peh Kong adalah klenteng tertua di Singkawang yang wajib didatangi semua tatung. Saat saya dan teman-teman sedang berada di sana, seorang tatung berpakaian serba hitam, berhias bulu burung di kepalanya, dengan membawa tombak berdiri gagah di depan pintu klenteng. Seekor ayam hutan yang sedari tadi digigitnya, diletakkannya di dekat bokor tembaga berisi dupa. Diiringi tetabuhan, tatung menari-nari di depan pintu klenteng, tangannya mengayun gemulai, menyuruh orang-orang menyingkir memberinya jalan menuju meja persembahan lalu melakukan ritual sembahyang untuk mendapat restu para dewa.
Dalam hitungan menit rombongan pengiring tatung yang lain datang. Saya tak menyangka lelaki setengah baya berpakaian kaos putih dan bercelana panjang kelabu itu adalah seorang tatung. Pandangannya kosong lurus ke depan. Mulutnya bergerak menggumamkan sesuatu, lalu mendatangi tiga meja persembahan satu persatu.
Seorang tatung setengah baya berkaos kuning dan bercelana pendek datang menyusul. Digandeng oleh beberapa orang ke depan meja persembahan yang dikelilingi lilin-lilin raksasa. Ia bersila di atas kursi, tangan kirinya dalam posisi berdoa dan tangan kanannya menggoyangkan lonceng kecil yang berdenting nyaring.
Perjalanan Supranatural yang Tak Selalu Mulus
Apakah semua tatung selalu mendapat restu dari dewa-dewi? Belum tentu. Salah satu ritual yang harus dilakukan setiap tatung saat berdoa di klenteng adalah melemparkan dua bilah kayu berbentuk bulan sabit yang salah satu sisinya berwarna merah. Lemparan demi lemparan dilakukan ke atas meja persembahan atau ke lantai hingga posisi salah satu terbuka (warna merah di bawah) dan yang satunya terbalik. Sebagai pertanda dewa sudah memberi 'kabar baik'.
Saat saya berada di dalam klenteng rumah Marga Thjia, seorang tatung muda hanya duduk tertunduk di depan meja persembahan. Hio pun dinyalakan lebih banyak, bedug di dalam klenteng dipukul dan lonceng didentangkan berulangkali. Tapi sang tatung muda seakan-akan tertidur pulas, diam tak bergerak. Sampai akhirnya, penjaga klenteng membangunkannya.
"Kalau dibiarkan, dia akan begitu sampai berjam-jam. Dewa di sini tidak mau memberi restu," kata salah seorang anggota keluarga Thjia. Alasannya? "Karena kedudukan dewa di klenteng ini lebih tinggi dari roh dewa yang merasuk ke dalam badan tatung. Atau bisa jadi dia tidak melakukan puasa dengan benar."
Tak sembarang orang bisa menjadi tatung. Mereka adalah orang-orang pilihan bukan karena kemauan sendiri. Terkadang karena ada garis keturunan, atau merupakan reinkarnasi dari masa lalu. Tak menutup kemungkinan seorang wanita atau anak-anak pun bisa menjadi tatung, semuanya tergantung 'berjodoh' atau tidak dengan roh yang akan merasuki. Melakukan puasa minimal seminggu sebelum perayaan Cap Go Meh, berupa pantang mengonsumsi daging dan berhubungan badan adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh seorang tatung. Agar jiwanya bersih dari hal-hal duniawi dan tak mencelakakan diri sendiri.
Ratusan Tatung Bersatu
Pada puncak perayaan Cap Go Meh, jalanan kota menjadi lautan bendera dan umbul-umbul yang dibawa oleh masing-masing pengiring tatung. Ada 600-an tatung yang akan diarak keliling kota. Berpakaian layaknya panglima perang Tiongkok masa lalu, pendekar kungfu, atau gagah dengan pakaian kebesaran suku Dayak lengkap dengan mahkota berupa paruh burung rangkok.
Selama diarak para tatung terus memamerkan aksi yang di luar kemampuan fisik manusia biasa. Duduk di atas alas berpaku, atau berdiri diatas susunan bilah pedang yang tajam. Menusukkan besi atau pedang ke pipi melewati mulut hingga tembus ke pipi lainnya, menusuk bibir atau lidah dengan besi tajam, memakan bola lampu, atau dengan kaki telanjang menginjak-injak pecahan kaca. Aksi kekebalan lain pun dipertontonkan dengan menyayat tangan atau menggorok leher dengan pedang, juga menusuk perut dengan tombak.
Diiringi tetabuhan dan asap dupa yang tiada henti. Uang arwah berupa lembaran-lembaran kertas hadiah untuk roh para leluhur dan para dewa pun terus ditebarkan ke udara, menjadi jejak sepanjang jalan yang dilewati. Hingga berakhirnya acara menjelang tengah hari para tatung melakukan pemujaan di 3 altar, yaitu altar Tuhan yang Maha Esa, Bodhisatva, dan Dewata. Roh yang merasuki pun menghilang dan para tatung kembali pada kehidupan nyata tanpa bekas luka sedikit pun di badan mereka.
Catatan:
▪ Festival Cap Go Meh di Singkawang dilakukan setiap tahun pada hari ke 15 setelah imlek. Untuk menonton di podium, Anda bisa membeli tiket di panitia seharga Rp150.000 (sudah termasuk minuman dan makanan ringan).
▪ Bila Anda bepergian sendiri, lakukan pemesanan hotel minimal 3 bulan sebelum acara.
▪ Nikmati arak-arakan dengan suka hati, tak perlu takut, tapi sebaiknya jangan biarkan pikiran Anda kosong.
──────────────────
Perjalanan bersama para blogger ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #PesonaSingkawang #PesonaPontianak #PesonaIndonesia
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment