Singkawang, Sebuah Potret Toleransi
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-02-29
Ketika Kesultanan Sambas mulai membuka tambang-tambang emas, gelombang perantau dari China daratan pun datang. Membangun pemukiman baru di ujung barat laut Kalimantan yang disebut San Kew Jong, yang berarti kota di kaki gunung dekat muara dan laut. Daerah ini kemudian lebih dikenal dengan nama Singkawang.
Pada masa pertambangan emas masih berjaya, Kalimantan masih berupa daerah asing yang penuh hutan belantara. Bila datang wabah penyakit di kampung-kampung, maka laoya (dukun) yang juga dikenal dengan istilah tatung, akan melakukan ritual pengobatan, tolak bala, sekaligus mengusir roh jahat. Ritual-religi yang mencerminkan pembauran kepercayaan Taoisme kuno dengan animisme yang masih dipertahankan hingga kini dan menjadi puncak perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
Walau mendapat julukan Kota Seribu Klenteng, saya tetap bisa mendengar lantunan suara adzan pengingat waktu sholat dari menara Masjid Raya yang dibangun tak jauh dari klenteng tertua di pusat kota Singkawang. Acara mengarak ratusan tatung pada perayaan Cap Go Meh dari tahun ke tahun pun selalu dijadwalkan pagi dan selesai sebelum tengah hari, beberapa saat sebelum adzan Dhuhur dikumandangkan. Inilah sebuah contoh toleransi beragama yang sejati.
Adanya mobil-mobil pemadam kebakaran yang disediakan oleh beberapa klenteng juga menunjukkan bagaimana terjalinnya bentuk persaudaraan yang baik di kota ini. Tak hanya menolong masyarakat Tionghoa yang terkena musibah kebakaran, tapi bagi siapa pun yang membutuhkannya.
Pada masa pemerintahan orde baru, saat segala kegiatan etnis Tionghoa dibatasi. Termasuk pelaksanaan ritual, budaya, dan tradisi Tionghoa yang hanya boleh dilakukan di seputaran tempat ibadah atau tempat tinggal. Letak rumah-rumah dan klenteng yang saling berdekatan, menjadi keuntungan bagi kota Singkawang, yang tetap bisa melaksanakan tradisi tanpa menyalahi peraturan.
Kota ini pun menjadi tempat berlindung pada saat terjadi kerusuhan 1998 bagi ribuan masyarakat Tionghoa dari banyak daerah di Indonesia. Begitu pula saat terjadi pergesekan antara suku di Sambas dan Bengkayang, lagi-lagi Singkawang memberikan rasa aman bagi banyak pengungsi.
Selama ini masyarakat Singkawang menganggap sebuah pertikaian sangatlah merugikan, yang terkadang tak selesai dalam waktu satu generasi, dibayar mahal dengan harta bahkan mengorbankan jiwa. Saling menghormati budaya dan tradisi, serta menjaga keharmonisan, adalah hal yang dijunjung tinggi masyarakat kota yang plural, multi etnis, dan multi kultur ini. Jadi tidaklah mengherankan bila pada 2015, Singkawang menjadi kota ke-3 dari 72 kota dengan predikat 'Kota paling Toleran se-Indonesia.'
──────────────────
Perjalanan bersama para blogger ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia.
Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #PesonaSingkawang #PesonaPontianak #PesonaIndonesia
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment