Minyak Sawit & Hajat Hidup Orang Banyak
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2016-02-18
Bila mendengar perkebunan kelapa sawit, yang terbayang selalu pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh berjajar tak ada habisnya. Di balik keberandaannya yang kadang dianggap 'miring', ada jutaan orang yang bergantung pada tumbuhan penghasil minyak ini.
Kelapa sawit didatangkan dari Afrika ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1848. Awalnya hanya dijadikan tanaman hias di tepi jalan di daerah Deli, Sumatera Utara. Namun ketika adanya permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri di Eropa, maka pada 1911 mulailah kelapa sawit dibudidayakan secara komersial. Lahan-lahan perkebunan kelapa sawit pun dibuka di Aceh dan pesisir timur Sumatera.
JUARANYA MINYAK NABATI
Kini, Indonesia memiliki 10,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah yang mencapai Rp240 triliun per tahun ini menjadikan minyak Sawit sebagai penyumbang devisa kedua terbesar di Indonesia, setelah minyak dan gas bumi.
Dari besarnya lahan perkebunan dan hasil yang maksimal, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia di antara minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak kelapa, minyak jagung, minyak lobak, minyak zaitun, dan minyak bunga mahatari yang diproduksi di seluruh dunia.
Apalagi selain sebagai minyak makan, minyak sawit juga dapat digunakan sebagai pengganti lemak susu dalam pembuatan susu kental manis. Juga sebagai bahan dasar pembuatan kosmetik, pasta gigi, hingga bahan-bahan industri.
UNTUK HAJAT HIDUP ORANG BANYAK
Dalam acara Bermartabatkah Sawit Kita? pada Rabu, 17 Februari 2016 lalu, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementan, Gamal Nasir sempat menyatakan kegeramannya pada beberapa
perusahaan besar yang menandatangi Indonesia Palm Oil Plegde (IPOP), sebuah perjanjian kerja sama untuk mempromosikan produksi kelapa sawit Indonesia secara berkelanjutan dengan mengimplementasikan praktik bertanggungjawab tanpa deforestasi, sekaligus memperkuat daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar global.
Tapi alih-alih memperluas manfaat sosial bagi masyarakat, beberapa isi perjanjian ini malah melarang perusahaan peserta IPOP membeli tandan buah sawit segar dari perusahaan sedang dan kecil dengan dalih tak sesuai dengan standarisasi yang ditetapkan IPOP.
Padahal dari jumlah keseluruhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, 43% -nya merupakan perusahaan sedang dan perusahaan kecil perkebunan kelapa sawit milik rakyat. Lalu ke mana tandan sawit harus dijual? Kalau dibiarkan, lalu bagaimana hidup sekitar 30 juta penduduk Indonesia bergantung pada perkebunan ini?
Sebenarnya standarisasi perkebunan kelapa sawit yang ada sudah mengacu pada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia, ikut berpartisipasi untuk mengurangi gas rumah kaca, serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Juga membangun ekonomi yang lebih hijau dan mempromosikan pertumbuhan, pemerataan, serta mata pencaharian masyarakat kecil.
Standarisasi yang sudah sesuai dan layak. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah memberlakukan regulasi undang-undang mengatur strategi persawitan Indonesia, berupa sikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan besar yang membuat peraturan sendiri. Bukan hanya wacana, tapi tindakan berkelanjutan yang mensejahterakan petani kecil sesuai pada pasal 33 UUD 1945, ayat 3: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Dengan begitu kita bisa tunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar yang berdaulat, yang mengatur perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment