Keindahan Tradisi & Kekuatan Magis
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-11-04
Perahu panjang dengan ujung-ujung lancip 'meluncur' di kemilau lautan biru. Sayup-sayup tabuhan tambur dan gong menggema. Puluhan lelaki gagah mengangkat dayung, mendorong perahu bergerak melaju.
Pada 1970-an —puluhan tahun setelah Indonesia merdeka, diplomat dan sejarawan Des Alwi berupaya menampilkan kembali belang sebagai tradisi sekaligus atraksi wisata tanah leluhurnya, di kepulauan kecil di tengah laut Banda.
Kepulauan ini memiliki 7 pulau berpenghuni, yang wilayahnya dibagi menjadi 10 negeri (kampung). Setiap negeri memiliki sebuah belang nasional sebagai lambang dan kebanggaan. Dari 10 negeri ada 7 kampung adat, yang memiliki belang adat yang lekat dengan legenda. Yaitu kampung adat Namasawar (belang Negeri), Orlima (belang Kuda), Orsiwa (belang Lonthoir), Ratu (belang Ratu), Selamon (belang Joko), Tata Lima (belang Ay), dan Waer (belang Waer).
ADU KUAT, ADU CEPAT
"Belang manggurebe," begitulah masyarakat Banda menyebut perlombaan yang merupakan ajang adu kecepatan belang. Namun terkadang, terkendala mahalnya biaya dan waktu yang tak cukup untuk memperbaiki perahu panjang ini, membuat tak semua negeri bisa menampilkan belang untuk bertanding.
Memperbaiki belang, jiwa gotong-royong yang masih erat di kepulauan Banda.
Perlombaan biasanya diadakan (minimal) sekali menjelang akhir tahun, dibagi menjadi dua perlombaan karena belang nasional dan belang adat tak bisa disatukan. Tahun ini telah disepakati, jalur perlombaan sepanjang 5 kilometer menyusuri selat antara pulau Neira dan pulau Banda Besar. Dimulai dari ujung Timur pulau Banda Besar dan berakhir setelah melewati Istana Mini —salah satu markah kota di pulau Neira.
Beberapa belang adat sudah bersiap. Warna dan bendera yang menghiaslah yang membedakan belang dari setiap kampung adat. Saat tanda dibunyikan, semua serentak melaju. Di setiap belang ada 30 lelaki pendayung yang duduk berdampingan. Mendayung dengan tenaga luar biasa, kayuhannya cepat, bergerak serempak sesuai seruan pemuka belang, yang berdiri memegang tiang bendera di tengah perahu. Dua orang natu (pelantun kabata) mengiringi dengan tabuhan tambur dan gong. Dua orang penimba air tak kalah cepat membuang air yang masuk ke dalam belang. Sang jurumudi pun tak lepas konsentrasi di buritan.
Perahu panjang lambang kebanggaan negeri.
Adu kuat, adu cepat melawan angin dan gelombang.
Wisatawan bergabung dengan masyarakat setempat, bersorak-sorai memberi semangat pada belang andalan mereka. Tak hanya menonton dari tepian pulau, banyak pula yang menyewa perahu-perahu motor agar bisa melihat lebih dekat. Terkadang terlalu dekat, lupa kalau gelombang yang ditimbulkan menggangggu hingga airnya masuk ke dalam belang, dan salah satunya akhirnya tenggelam. Belang yang lain terus berpacu, di antara gelombang dan angin yang bertiup cukup kencang. Batas akhir pun dicapai dalam waktu tak sampai setengah jam. Dan pemenangnya adalah belang Ay, dari kampung adat tata Lima, negeri Ay!
DI KELILINGI KEKUATAN MAGIS
Kehebatan pendayung belang adat dari Ay memang tak terbantahkan. Tahun lalu merekalah juaranya, begitu juga tahun sebelumnya. Karena letaknya yang cukup jauh, untuk sampai ke pulau Neira, belang adat harus didayung sejauh 17 kilometer. Tak boleh diikat dan ditarik perahu motor. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana kuatnya tenaga mereka mendayung di antara ayunan gelombang tinggi laut Banda yang merupakan laut terdalam di Indonesia.
Kedatangan mereka pada sore hari sebelum bertanding sudah mencuri perhatian masyarakat di pulau Neira. Bertelanjang dada memperlihatkan otot dan badan tegap. Kulit mereka hitam terbakar matahari. Menggunakan celana pendek dengan lilitan sarung di pinggang, dan kain putih sebagai penutup kepala.
Setelah menepi di pantai, serentak mereka turun lalu beramai-ramai mengangkat belang ke darat. Seutas tali langsung dipasang mengeliling belang, tanda tak ada yang boleh mendekat. Sang dukun akan berputar memberi mantera pelindung agar tak ada hal-hal gaib yang merusak 'kekuatan' belang. Semalam suntuk para pendayung pantang tertidur, semua harus menjaga keamanan belang. Karena dipercaya, kala malam menjelang, saat itulah kekuatan magis antar negeri dan kampung adat 'berperang'.
Belang Ay, menempuh jarak belasan kilometer sebelum bertanding.
ANTARA LAMBANG & RITUAL
Setiap belang dilapisi warna-warna kuat dan mencolok seperti merah, hijau, kuning, oranye, putih, bahkan hitam yang menunjukkan kegagahan. Di kedua sisi haluan dan buritan digambari lingkaran yang diibaratkan mata. Hiasan ukiran berbentuk tangan, parang bergagang kepala naga, buah pala, bunga cengkeh, ikan barakuda, atau ikan tuna menunjukkan ciri khas, hasil bumi, hasil laut, dan legenda adat masing-masing negeri.
Khusus untuk belang adat, bagian ujung haluan dan buritannya berhiaskan mahkota, yang baru dipasang saat belang sudah siap diluncurkan ke laut. Setiap negeri memiliki bentuk mahkota yang berbeda. Belang adat Orlima misalnya, mahkotanya berupa ukiran kepala kuda yang dibuat dengan maksud arwah nenek moyang akan mengiringi laju belang melesat secepat kekuatan seekor kuda. Berbeda dengan mahkota belang adat negeri Lonthoir, memiliki ukiran rumit berbentuk burung, sulur-sulur, dan buah pala. Menunjukkan tanah yang subur sebagai penghasil buah pala. Tombak, helm, dan tameng prajurit Cakalele pun dipajang, menunjukkan bahwa nenek moyang mereka adalah prajurit perang yang gagah berani.
Belang adat Lonthoir, menjelang bertanding.
Mahkota, dayung, dan hiasan belang disimpan di baileo.
Sebuah belang adat biasanya dipertahankan 5-7 tahun sampai akhirnya rusak dan harus diganti dengan yang baru. Diiringi ritual, mahkota, dayung, dan segala hiasan pada belang yang lama akan disimpan di dalam baileo (rumah adat), sedangkan kayu-kayu di badan perahu akan dipotong-potong kemudian dikubur di halaman.
Buka puang, buka kampung, tutup kampung, menjadi ritual yang mengiringi 'perjalanan hidup' sebuah belang. Karena belang tak hanya lambang dan kebanggaan, tapi juga lekat dengan ritual dan pantangan.
SYAIR DARI MIMPI
Dari zaman nenek moyang, setiap negeri dan kampung adat memiliki kabata yaitu syair-syair pendek yang berulang. Bahasa yang digunakan adalah 'bahasa tanah' atau bahasa nenek moyang, yang diajarkan secara lisan, dan diwariskan turun-menurun. Kabata adalah bagian dari ritual, tak bisa pula dipisahkan dari belang adat. Sebelum bertanding, belang adat akan mengitari pulau dan berhenti di beberapa tempat keramat. Natu akan melantunkan kabata yang berisi cerita kejadian-kejadian dimasa lalu di tempat tersebut, sambil menyebarkan bunga mengajak arwah nenek moyang untuk turut mengiringi belang.
Ketika VOC (1821) menumpas ribuan rakyat Banda hingga nyaris habis tak bersisa, kabata pun seakan terikut binasa. Hingga kini, kampung adat yang kehilangan warisan berharga ini tak bisa menampilkan kemegahan belang adat mereka di laut. Sampai suatu saat nanti syair-syair kabata kembali ' didatangkan' dalam bentuk mimpi.
Belang dan kabata menjadi ritual tak terpisahkan. Ungkapan rasa terima kasih pada nenek moyang yang telah mengajarkan adat istiadat dan agama. Dengan ritual inilah masyarakat Banda mengingat Sang Pencipta dan alam raya. □
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment