Dari Tanjung Pandan ke Tanjung Binga
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2011-03-25
Pulau 'Laskar Pelangi' tempat yang menggoda untuk didatangi. Tapi karena uang saku yang dimiliki terbatas, muncullah ide untuk menjelajahinya dengan menggunakan sepeda dan bermalam dalam tenda.
MERAKIT SEPEDA
Udara pagi sudah mulai panas saat kami menunggu sepeda keluar dari bagasi pesawat di bandara H.AS.Hanadjoeddin, Tanjung Pandan, Belitung. Setelah mendapat tempat yang agak luas di selasar bandara, kami pun mulai membongkar plastik pembungkus dan mulai merakit sepeda. Pemandangan tak lazim ini langsung mengundang beberapa petugas dan porter bandara datang mengerubungi.
"Banyak orang Jakarta bawa sepeda naik pesawat ke sini," kata seorang petugas bandara, "tapi tak ada yang langsung merakit sepeda sewaktu turun dari pesawat. Baru kali inilah saya lihat. Nak langsung beketangin rupanye."
Beketangin adalah sebutan untuk bersepeda dalam bahasa Belitung. Logat yang khas dengan pengucapan 'e' seperti pada kata 'keras'
BEKETANGIN KE TANJUNG BINGA
Memang begitu rencananya, kami akan bersepeda mulai dari bandara dengan tujuan pulau Legkuas —di belahan barat pulau Belitung. Untuk sampai ke sana kami harus bersepeda sejauh 35 km ke Tanjung Binga, melewati kota Tanjung Pandan. Kondisi jalan yang lurus, naik turun dengan aspal yang mulus dan sepi dari kendaraan membuat saya tak mampu menahan diri untuk mengayuh sepeda zig-zag di sepanjang jalan. Tidak banyak kendaraan yang berpapasan atau melewati kami. Mendekati kota Tanjung Pandan, mulailah banyak kendaraan melintas. Begitu keluar dari Tanjung Pandan, suasana jalanan kembali sepi.
Seberapa lama waktu yang akan ditempuh? Sekuat betis ha... ha... ha.... Sebagai penyepeda amatir, yang tak ingin terikat target seberapa jauh mengayuh dan seberapa cepat perjalanan yang harus ditempuh. Jarak yang mungkin hanya memakan waktu kurang dari 1 jam bila ditempuh dengan mobil, kami lalui hampir 5 jam. Karena inti perjalanan ini memang menikmati pemandangan itulah yang kami cari. Dan terlalu banyak pemandangan indah yang rugi kalau hanya dilewati. Bila datang rasa lelah kami berhenti di pinggir jalan, di masjid, di warung, bahkan menumpang di teras kantor desa atau rumah penduduk.
MASYARAKAT YANG RAMAH
"Orang Belitong baik-baik. Kalian pasti aman di jalan," begitu kata seorang teman beberapa minggu sebelum kami berangkat. Hal ini terbukti benar. Sepanjang perjalanan hampir semua pintu rumah dalam keadaan terbuka, menandakan keramahan penghuninya. Hampir setiap kami lewat, penduduk setempat melambaikan tangan. Beberapa anak kecil yang sedang bersepeda sempat pula ikut mengiringi sampai ke ujung kampung mereka. Ada saja yang berteriak bertanya, "Nak beketangin kemane?" Sambil terus mengayuh saya pun balas berteriak, "Nak ke Tanjong Bingaaa!"
Menjelang sore, sampai jugalah kami di kampung nelayan Tanjung Binga. Dari pinggir pantai gugusan pulau-pulau kecil menghias cakrawala. Di sebuah pulau di kejauhan tampak menjulang menara suar. Ke sanalah tujuan kami, pulau Lengkuas.
Seorang ibu mendatangi kami, tahu bahwa kami adalah pendatang. " Istirahat saja dulu," kata beliau yang berjanji mencarikan nelayan yang bersedia mengantar kami ke seberang. "Air laut masih surut. Nanti pukul empat baru pasang naik," katanya.
DERAKAN PARA-PARA
Kami sempat mencari makan. Mengisi perut yang dari pagi hanya berisi air putih, pisang, dan roti. Menjelang sore, kami kembali ke pantai. Sebuah kapal nelayan yang kebetulan akan pergi melaut, bersedia mengantar kami ke pulau Lengkuas.
Karena air laut masih belum benar-benar pasang, kapal yang akan kami tumpangi bersandar 20 meter dari bibir pantai. Awak kapal yang harus nyemplung ke laut, tampak sudah biasa dengan ketinggian air sebatas pinggang saat mengangkut sepeda dan barang-barang kami dari pantai ke atas kapal.
Saya yang sudah mencopot kaos kaki dan siap basah-basahan untuk menuju kapal malah disuruh menunggu di 'para-para' —semacam dermaga kayu yang biasa digunakan untuk menjemur ikan asin. Dermaga itu terbuat dari rangkaian batang-batang kayu kecil panjang yang disusun rapat saling mengikat.
Setiap langkah disusul bunyi kayu berderak. Kalau bukan karena malu, saya lebih memilih merangkak di sini. Kapal sudah menunggu di ujung dermaga kayu, tapi untuk naik ke kapal saya harus menuruni tangga kayu yang jarak anak tangganya sejauh kaki saya. Setelah susah payah melangkah dan merayap, akhirnya saya berhasil duduk di atas dek kapal. Terdengar teriakan dan sayup-sayup tepuk tangan. Ternyata, 'perjuangan' saya barusan jadi tontonan menarik ibu-ibu dan anak-anak di pinggir pantai ha... ha... ha....
MENYEBERANG KE PULAU
Pemandangan langit sore, lautan biru, gugusan pulau-pulau berbatu granit raksasa, dan air laut yang biru dengan permukaan tenang seperti kaca membuat senyum saya mengembang lebar sepanjang perjalanan. Tak terasa 20 menit terlewat dan pulau Lengkuas sudah membentang di depan mata.
Kapal mulai melambat, memasuki 'jalur' yang membelah di antara terumbu karang. Pastinya hanya nelayan setempat yang bisa mencapai ke pulau ini sambil memejamkan mata tanpa harus karam terkena karang.
Di pulau ini tidak ada dermaga, awak kapal harus turun membawa jangkar kapal dan menancapkannya di pasir pantai yang putih bersih. Saat itu angin sedang baik dan pantai nyaris tak berombak, air laut tak lebih dari atas betis saat kami harus nyemplung turun dari kapal.
Pasir putih terasa hangat dan lembut di kaki. Sambil menurunkan barang-barang, pandangan saya tak lepas dari menara suar yang menjulang tinggi di tengah pulau, dikelilingi burung-burung simbang, semacam camar laut yang hendak pulang ke sarang di hutan kecil di sisi lain pulau.
Lambaian tangan mengiringi kapal nelayan yang mulai menjauh meninggalkan kami di pulau bermercusuar. Tepat saat kami selesai mendirikan tenda, lampu suar menyala, menjadi penanda arah bagi kapal-kapal yang datang dari selat Gaspar sepanjang malam. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment