Menikmati Surga Lembah Baliem

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-09-15

Setelah mobil yang membawa kami Rombongan Mahakarya Indonesia berhenti di pinggir jalan raya Sogokma. Perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak, menyeberangi sungai, menyusuri kebun-kebun, naik-turun bukit, sekaligus berinteraksi langsung dengan masyarakat Dani dan Yali, suku-suku asli lembah Baliem, Papua. Berapa lama waktu tempuh menuju Kurima? Empat jam, begitu kata pemandu.

JEMBATAN KUNING

Dinamakan begitu karena memang berwarna kuning. Jembatan gantung ini menghubungkan Sogokma dengan jajaran pegunungan Erumuliak yang panjang membentang di seberang. Saat dilewati, jembatan gantung ini bukan bergoyang ke kanan atau kiri, melainkan turun naik bagai gelombang. Sambil menyeberang saya beranikan melihat ke sungai Baliem yang melintas di bawah jembatan. Airnya berwarna cokelat, arusnya deras, dengan suara yang menderu keras.





"Ini sedang surut," begitu penjelasan Herriman Sihotang, "kalau sedang musim hujan, ketinggian air naik 2-3 meter." Pemandu lokal yang sebenarnya berasal dari Medan ini jatuh cinta pada Wamena sejak 1989. Beliaulah yang menjadi perantara kami menerjemahkan bahasa suku Dani dan Yali ke dalam bahasa Indonesia.



Jembatan Kuning ini baru dibangun beberapa tahun lalu, menggantikan jembatan lama yang putus dan memakan korban seorang pemandu lokal dan seorang wisatawan Jepang. Saat itu tubuh mereka langsung hilang ditelan arus sungai Baliem, tak lagi bisa ditemukan. Beberapa bulan kemudian, keluarga wisatawan datang dari Jepang ke Wamena, membangun semacam tiang batu bertuliskan huruf kanji di dekat jembatan. Sebagai nisan sekaligus pengingat bagi anak mereka yang hilang.



SEMANGAT GOTONG ROYONG

Di kanan-kiri jalan setapak yang tak jauh dari tepi sungai, merupakan kebun sayur milik penduduk setempat, ditanam di lahan yang sudah dipetak-petak. Walau tak terlihat pemukiman di sekitar sana —karena perkampungan suku Dani berada jauh di lereng pegunungan, bahkan di balik pegunungan— tapi kebun-kebun berpagar tumpukan batu kali ini tampak terawat dan subur.




Matahari tertutup awan, birunya langit tak seperti yang kami harapkan. Tapi paling tidak cuaca baik dan udara sangat sejuk di ketinggian 1700-an mdpl. Suasana tenang sepanjang jalan, selain deru arus sungai, sesekali terdengar suara kami saling bertanya dan menyahut. Di belakang rombongan, beberapa anak pulang sekolah, ikut serta mengiringi berjalan searah. Berseragam merah-putih, tanpa alas kaki riang gembira mereka bernyanyi dan bertanya ini-itu tanpa henti.



Dalam waktu satu jam lebih, hanya satu-dua penduduk setempat yang berpapasan dengan kami. Jadi saat melihat banyak orang berkumpul di suatu tanah lapang di pinggir sungai, hati ini pun senang bukan kepalang.



Beruntung sekali kami bisa melihat mereka bergotong-royong membangun sebuah honai (rumah khas suku Dani), yang akan dijadikan pos penjagaan sekaligus tempat singgah dan beristirahat bagi siapa pun yang sedang melintas. Dari awal perjalanan, hingga beberapa kilometer ke depan, hanya inilah satu-satunya bangunan yang kami temui.




Mama-mama dan gadis-gadis duduk mengobrol sambil menonton para lelaki yang sedang menyusun atap. Anak-anak bermain berlarian sambil membawa anjing piaraan. Rombongan pun memutuskan berhenti beristirahat sambil menikmati makan siang. Membuka bekal nasi kotak yang sudah dibawa dari Wamena dan makan di pinggir sungai Baliem bukanlah pengalaman yang bisa dilakukan setiap hari. Beberapa anak sekolah tadi ikut bergabung, malu-malu menerima gula-gula yang kami sodorkan. Seorang anak ikut makan bersama, menyantap ayam dan nasi dengan lahap. Tentu ini santapan istimewa baginya yang biasanya hanya menyantap hipere (ubi manis) untuk pengganjal perut.





Anak-anak suku Dani yang beranjak dewasa memiliki permainan tersendiri untuk menguji nyali. Mereka bergantian terjun ke arus sungai Baliem yang deras, menghanyut diri sebentar untuk mengambil ancang-ancang sebelum berenang ke tepi. Berkali-kali saya bertepuk tangan menyaksikan betapa tepat perkiraan mereka agar tak terus hanyut dan kuatnya tenaga mereka melawan arus. Memang tak bisa dipungkiri, di darah mereka mengalir darah suku Dani, suku pemberani.



Dari mereka juga saya tahu, bahwa sungai Baliem adalah sungai yang dianggap pemberi kehidupan bagi masyarakat lembah Baliem. Tak semua bagian sungai boleh dimasuki, bahkan ada larangan mengotori sungai dengan sampah apalagi buang air di sungai. Kalau hal tersebut dilanggar, hukum adat pun berlaku, dengan sejumlah babi yang harus mereka bayarkan. Kalau dihitung dalam rupiah, jumlahnya bisa mencapai puluhan juta.



Istirahat siang harus disudahi karena perjalanan masih panjang. Bersama anak-anak suku Dani kami berkumpul lalu bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada rasa haru dan bangga yang menyesakkan dada. Di saat itulah saya tersadar betapa cintanya kami semua pada Indonesia.



SENYUMAN SEPANJANG JALAN

Perjalanan menyusuri lereng pegunungan ini serasa tak juga sampai ke ujung. Tebing atau jajaran kebun di lereng yang curam di sisi kiri, di sisi lain jurang menganga. Jauh di bawah sana, sungai Baliem tak juga mengurangi laju arusnya, mengikis habis beberapa dinding tebing. Membelah lembah yang dikeliling pegunungan.




Jalur ini dilintasi suku Yali bila mereka turun gunung. Dari kampung mereka tinggal perlu 3-4 hari berjalan kaki untuk sampai di Wamena. Kami sempat berpapasan dengan seorang perempuan suku Yali, membawa noken —tas rajut khas Papua yang disangkutkan di kepala—, berisi sayuran dan hasil kebun untuk dijual di pasar, itu juga bekal yang mereka makan selama perjalanan. Dua orang anak gadis ikut berjalan di belakang sang ibu, saya sodorkan beberapa butir gula-gula sebagai pengganti tenaga mereka yang hilang setelah menempuh perjalanan jauh. Karena terkendala bahasa, tak ada tegur sapa. Tapi berjabat tangan dan senyuman sudah bisa jadi lambang persaudaraan dan keramahan.



Mama Martha, seorang wanita suku Dani yang kami temui sedang duduk di pinggir kebun. Sembari beristirahat, kami duduk mengobrol dengan perempuan setengah baya yang memotong beberapa jari tangan sebagai pertanda duka setelah kehilangan anggota keluarganya. Ditemani Mama Martha, Herriman Sihotang pun mengajari kami sebuah lagu anak-anak suku Dani. Dan saya hanya ingat syair pertama saja, "Nausa nupase hipere nabue...." biasanya dinyanyikan anak-anak yang lapar sepulang sekolah. Potongan syair tersebut artinya "Ayah Ibu saya lapar minta Hipere (ubi manis)" Ha... ha... ha... Lucu sekali. Persis apa yang kami rasakan saat itu.





Kekaguman saya pada lembah Baliem tak ada habisnya, keindahannya menjadi penepis rasa lelah.
Seakan-akan tak mau menyia-nyiakan kesempatan, sebentar-sebentar ada saja yang berhenti. Tak hanya pemandangan, rumput liar, pohon, hingga batu pun sepertinya juga harus diabadikan dalam foto. Belum lagi berpose di sana-sini. Itulah mengapa empat jam terlewati dan kami tak juga sampai ke Kurima, walau sudah sedari tadi pemukiman ini tampak di seberang jurang. Kekuatan dan kecepatan berjalan pun tak lagi setara, menyebabkan rombongan Mahakarya Indonesia mulai terpisah-pisah menjadi 4 kelompok berbeda. Untungnya hanya ada satu jalan setapak, jadi tak ada kemungkinan tersesat.



KURIMA, TUJUAN AKHIR PERJALANAN

Setelah 6 jam berjalan, sampailah kami di Seima. Perkampungan kecil yang memiliki sebuah gereja. Kami pun berbondong-bondong numpang ke kamar kecil, yang hanya berupa bilik dari kayu beratap seng.

Keluarga yang tinggal di dekat gereja keluar rumah dan menyapa dengan ramah. Entah dari mana, tiba-tiba banyak anak kecil berlarian datang dengan gembira mengajak kami berjabat tangan. Sebungkus permen yang tersisa di ransel saya berikan pada seorang bapak, "Bapak saja yang bagikan ya, biar tidak berebut," kata saya sebelum melambai pergi.



Dari Seima, desa Kurima sudah dekat sekali. Hanya tinggal menyeberangi sungai Baliem. Tapi ternyata tantangan masih menghadang. Kami harus menuruni jalanan terjal berpasir. Menghindari terpeleset dan menggelundung jatuh tercebur ke sungai Baliem, kaki pun melangkah sesenti demi sesenti. Setelah sampai di pinggir sungai, kami seperti saling menunggu giliran siapa yang lebih dulu berani menyeberang.




Penampakan jembatan gantung yang harus kami lewati tak sekokoh jembatan Kuning. Memang ada dua tiang penopang tali baja di kedua sisi sungai, namun kayu-kayu yang menjadi alas berpijak banyak yang berlubang. Sementara setiap langkah diikuti goyangan hebat, naik-turun, juga miring ke kanan dan ke kiri. Satu-satunya jalur aman ternyata bila berjalan di bagian tengah, tapi itu berarti tangan saya tak bisa berpegangan pada tali pengaman. Ah, sungguh pilihan yang sulit, lebih sulit lagi ketika dilakukan. Karena kaki yang gemetar ini tampaknya membuat tambah kencangnya jembatan bergoyang.
Melangkah lambat karena gemetar, rasanya lega ketika selamat sampai di seberang. Disambut senyuman seorang bapak tua yang menopang badan bungkuknya dengan tongkat. Dengan sabar beliau menunggu seluruh rombongan selesai menyeberang. Semoga beliau memaklumi ketakutan kami.



Jajaran pohon pinus ditanam di sepanjang jalanan kecamatan Kurima yang sudah beraspal baik. Sebuah bangunan pos TNI AD mengibarkan bendera merah-putih, menyadarkan saya bahwa daerah indah ini masih berada di wilayah Indonesia. Sambil menuju mobil jemputan, kami bisa melihat lereng pegunungan di mana kami berjalan siang tadi. Dan ini baru secuil keindahan tanah Papua. █



Bagaimana ke sana?

Untuk menghemat waktu disarankan menyewa mobil dari Wamena.

Waktu tempuh: Wamena ‐ Sogokma: 30 menit.

Waktu trekking: 4 jam ‐ 6 jam jalan santai.



Jangan lupa!

▪ Gunakan sepatu tertutup untuk berkegiatan di alam. Kalau pun menggunakan sandal gunung, sebaiknya gunakan juga kaos kaki.

▪ Topi sangat berguna untuk melindungi kepala dari panas dan angin.

▪ Hujan bisa turun tiba-tiba di lembah Baliem, walaupun terkadang tak deras namun berlangsung cukup lama. Membawa jas hujan atau jaket bisa sangat berguna

▪ Bawalah air minum secukupnya.

▪ Bawakan permen, pensil, pulpen, atau buku untuk anak-anak di sana.

▪ Rokok menjadi alat untuk berinteraksi dengan penduduk setempat. Saat mereka minta, sebaiknya berikan sebatang demi sebatang.

▪ Mintalah izin bila hendak memotret penduduk di sana.


─────────

Cultural Trip Wamena ‐ Mahakarya Indonesia, dipersembahkan oleh Dji Sam Soe. Bertujuan mengenal lebih dekat kekayaan budaya nusantara dan mengingat kembali jiwa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, kegigihan, kesabaran, dan kerendahan hati.

Perjalanan yang diramu oleh Gelar Nusantara ini diikuti oleh 18 peserta, terdiri dari pemenang blog writing competition, pemenang media writing competition, para juri, sejarawan, fotografer, videografer, tim HM Sampoerna, dan tim Imogen PR.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment