Sore Hari di Soroba

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-09-14

'Dipagari' bukit-bukit karang dan kapur, tampak pengunungan berjajar di kejauhan. Sejak turun dari mobil yang mengantar, begitulah pemandangan di sepanjang perjalanan menuju perkampungan suku Dani Lembah Baliem di utara kota Wamena. Setiap melangkah di jalan setapak, tak habis decak kekaguman keluar dari mulut kami —rombongan Mahakarya Indonesia.

Di pinggir sebuah tanah lapang, tertanamlah sebuah tiang yang berupa gabungan beberapa batang pohon yang diikat kuat dengan tali rotan. Inilah kayo, menara pantau yang sangat berguna di kala suku Dani masih gemar berperang. Kayo selalu ditanam di tempat-tempat strategis di seputar perkampungan. Seorang prajurit, bahkan kepala suku Dani akan memanjat naik ‐berpijak pada tali rotan yang terikat di tiang, untuk memantau musuh yang akan datang menyerang.






Perjalanan berlanjut di bawah rindangnya pepohonan pinus dan pohon o willi (sejenis pohon oak). Sebuah sungai yang tak terlalu lebar menghadang, airnya cokelat mengalir perlahan. Jembatan yang tersedia terbuat dari batang-batang kayu yang disusun sambung-menyambung memanjang sampai ke seberang. Diikat kuat dan ditopang batang-batang kayu yang disusun menyilang dan ditanam terbenam ke lumpur sungai. Saat menyeberang, dahan-dahan kayu yang saling terikat kuat jadi tempat berpegang.





Menyusuri jalan setapak, tak pelak sesekali terinjak juga kotoran babi. Itu berarti kami sudah berada di jalur yang benar, begitu kata pemandu. Babi-babi di sana sengaja dibiarkan berkeliaran, karena akan pulang sendiri ke kandangnya menjelang sore hari. Jadi sudah pasti tak akan tersesat bila kami berjalan mengikuti jalan yang mereka lewati.



GERBANG & HALAMAN

Seorang lelaki paruh baya suku Dani tanpa busana keluar dari balik pepohonan, hanya mengenakan koteka (alat penutup kemaluan laki-laki, terbuat dari kulit buah labu air yang dikeringkan).
Sambil tersenyum dan menjabat tangan kami satu per satu dia berkata, "Waa... waa... waa..., " bahasa suku Dani yang berarti 'terima kasih.'



Age Age (baca: aghe-aghe), lelaki paruh baya tadi mengaku usianya baru 50 tahun, entah benar atau tidak. Karena pada kenyataannya, orang-orang suku Dani seusia Age Age tak pernah tahu kapan mereka lahir. Jadi angka yang disebut pun hanya sekadar angka, kalau pun tahun depan bertemu lagi, mungkin Age Age akan memberi jawaban yang sama.



Masyarakat suku Dani tinggal dalam perkampungan-perkampungan yang disebut silimo, menyebar di seluruh pelosok lembah Baliem. Setiap wilayah silimo dibatasi dengan leget, yaitu pagar kayu yang terbuat dari kayu berujung runcing, berfungsi untuk menyangkutkan jerami dan alang-alang di atas pagar. Sebagai pelindung agar kayu tak cepat lapuk karena terkena hujan dan panas, bahkan bisa awet hingga sepuluh tahun. Dengan begitu, suku Dani tak perlu sering-sering menebang pohon di hutan hanya sekadar untuk mengganti kayu pagar.





Di dalam silimo biasanya terdapat beberapa honai (rumah khas suku Dani). Terdiri dari beberapa pilamo (honai lelaki), umma (honai perempuan), dan hunila yaitu bangunan panjang yang digunakan sebagai dapur. Yang pasti juga adalah kandang babi tau wamdabu.



Memasuki silimo tempat Age Age tinggal, kami harus memanjat 'pintu' untuk masuk ke dalam pekarangannya. Kalau tak hendak repot memanjat, boleh saja menerobos lubang di pagar yang biasa digunakan babi-babi piaraan.

Mungkin karena tak banyak anggota keluarga yang tinggal bersama Age Age, di dalam silimo hanya ada 2 bush pilamo (honai lelaki) dan sebuah hunila, di dapur ini jua para istri, anak-anak perempuan, dan anak-anak kecil tinggal.



Sudah menjadi kebiasaan di sana, masyarakat suku Dani akan menawarkan cindera mata hasil kerajinan tangan mereka kepada tamu-tamu yang datang. Begitu pula Age Age, yang menawarkan kalung manik-manik, kalung dengan hiasan taring babi, dan beberapa kapak batu, dengan kisaran harga Rp50.000 ‐ Rp200.000.




MAU COBA MENGINAP?

Bisa! Karena ternyata salah satu silimo yang kami lewati dibangun khusus untuk digunakan sebagai hotel. Tamu-tamu yang menginap bisa mendapat pengalaman bagaimana rasanya tidur di dalam honai yang tersedia dan menyantap makanan sehari-hari yang disiapkan oleh para wanita suku Dani. Walaupun di hotel ini sudah disediakan fasilitas listrik, namun para tamu pun tetap harus ke sungai untuk buang air dan mandi. Berapa uang yang harus dibayar harus dikompromikan terlebih dahulu dengan kepala suku dari silimo terdekat.



RUANG MAIN YANG TAK TERBATAS

Hujan rintik-rintik yang turun sedari tadi tak juga berhenti, membuat tanah di pekarangan silimo berubah menjadi lumpur. Sementara kami berhati-hati melangkah agar tak terpeleset, anak-anak kecil dengan santai berlarian ke sana kemari bertelanjang kaki. Menganggu acara tidur siang babi-babi.




Ketika kami beranjak pulang, beberapa anak kecil mengantar sampai ke dekat sungai. Lalu melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Walau agak malu-malu, tapi senyuman ramah dan bahagia tampak di wajah mereka, padahal kami hanya memberi beberapa permen yang mereka sebut 'gula-gula.'



Melewati jalur yang sama, akhinya kami sampai lagi di tanah lapang tepat kayo ditanam. Berbeda dari siang tadi, pada sore hari lapangan luas itu dipenuhi lebih dari 20 remaja yang berasal dari perkampungan sekitar. Di mana rumah mereka pun tak terlihat, karena berada entah di balik bukit yang mana. Perempuan dan lelaki semua bergabung dalam kelompok-kelompok, bermain bola bersama. Tak hanya bermain bola, ada pula yang memanjat bukit karang, lalu duduk-duduk sambil bernyanyi di puncaknya. Alangkah beruntungnya anak-anak suku Dani, mereka tak kekurangan lahan bermain. ◼



Bagaimana ke sana?

Walau ada transportasi umum, tapi untuk menghemat waktu disarankan menyewa mobil dari Wamena.

Waktu tempuh: Wamena ‐ Soroba: 45 menit.

Waktu trekking: 30 menit ‐ 60 menit jalan santai.



Jangan lupa!

▪ Gunakan sepatu tertutup untuk berkegiatan di alam. Kalau pun menggunakan sandal gunung, sebaiknya gunakan juga kaos kaki.

▪ Topi sangat berguna untuk melindungi kepala dari panas dan angin.

▪ Hujan bisa turun tiba-tiba di lembah Baliem, walaupun terkadang tak deras namun berlangsung cukup lama. Membawa jas hujan atau jaket bisa sangat berguna

▪ Bawalah air minum secukupnya.

▪ Bawakan permen, pensil, pulpen, atau buku untuk anak-anak suku Dani.

▪ Rokok menjadi alat untuk berinteraksi dengan suku Dani. Saat mereka minta, sebaiknya berikan sebatang demi sebatang.

▪ Mintalah izin bila hendak memotret penduduk di sana.

▪ Uang tunai yang 'berlaku' adalah lembaran rupiah berwarna biru dan merah.

▪ Belilah cindera mata buatan masyarakat atau suku asli, dengan begitu roda perekonomian berputar dengan baik di sana.


─────────

Cultural Trip Wamena ‐ Mahakarya Indonesia, dipersembahkan oleh Dji Sam Soe. Bertujuan mengenal lebih dekat kekayaan budaya nusantara dan mengingat kembali jiwa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, kegigihan, kesabaran, dan kerendahan hati.

Perjalanan yang diramu oleh Gelar Nusantara ini diikuti oleh 18 peserta, terdiri dari pemenang blog writing competition, pemenang media writing competition, para juri, sejarawan, fotografer, videografer, tim HM Sampoerna, dan tim Imogen PR.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment