Home >>Blog >Segala Rupa

Terry Endropoetro's avatar

Calon Romo Masuk Pesantren

Melihat beberapa ibu di Pondok Pesantren Wali Sanga di Ende, Nusa Tenggara Timur, saya baru sadar kalau saya lupa membawa kain untuk kerudung penutup kepala. Duh, mana kepala saya gundul pula. Saya meminta maaf pada kepala pondok pesantren bila dianggap kurang sopan. Dan beliau menjawab….

“Tidak perlu repot pakai kerudung. Anak-anak di sini sudah diajarkan untuk melihat apa yang seharusnya mereka lihat. Menghormati dan menghargai orang lain walau berbeda. Mungkin awalnya heran, tapi mereka segera terbiasa.” Terharu saya mendengarnya. Walau belum 10 menit bertemu, langsung saya peluk dia. Siti Halima, yang akrab dipanggil Kaka Nona pun menepuk-nepuk pundak saya.

HUBUNGAN BAIK KATOLIK & ISLAM
Pondok Pesantren Wali Sanga di Ende, Nusa Tenggara Timur dibangun pada 1981 oleh H. Mahmud EK, yang dikenal dengan panggilan Aba. Aba bersahabat dengan Niko Hayon sejak duduk di Sekolah Rakyat (SD) di Flores Timur hingga Niko Hayon sudah ditasbihkan menjadi seorang Pater (Romo) Provinsial SVD. Aba juga berteman baik dengan Pater Ben Beck, missionaris dari Belanda yang ditugaskan di Ende.

Karena kedua Pater inilah terjadi kerjasama antara Gereja Katolik di Flores dan Pondok Pesantren Wali Songo. Setiap tahun pihak gereja akan mengirimkan seorang Frater untuk tinggal di pondok pesantren selama 1,6 tahun.

Pater Adi (saat masih menjadi Frater(Calon Romo)) masih ingat betapa bingungnya ia ketika diutus ke Pondok Pesantren pada 2013. Ia bertanya pada Frater seniornya dan jawabannya, “Datang saja dan jalani.” Berpasrah diri pada Yang di Atas, ia meninggalkan gerejanya di Kupang menyeberang ke Ende.

Seperti yang para Frater senior lakukan (dan masih dilakukan hingga saat ini), Frater Adi terlibat dengan kegiatan sehari-hari para santri dan santriwati. Termasuk bertugas membangunkan para santri menjelang Subuh. Setelah semua santri dan santriwati masuk ke masjid, Frater pergi untuk misa pagi dan sarapan di gereja. Menjelang siang, Frater kembali ke pondok pesantren, mengajar apa pun yang ia bisa. Bahasa Inggris, ilmu sosial, seni budaya, matematika, atau sekadar bermain gitar mengiringi para santri bernyanyi.


Kaka Nona sempat mengira saya datang sebagai perwakilan umat Buddha.


Kelompok rebana mereka bisa melantunkan lagu-lagu kekinian.

Frater dan para santri ‘gegitaran’. Mau lagu daerah sampai lagu rock, dinyanyian bersama.

FRATER YANG JAGO BELANJA
Ketika Aba meninggal pada 2011, ‘warisan’ pondok pesantren jatuh pada dua orang putranya yang pernah berguru di salah satu pondok pesantren di Jawa. Namun, ternyata mereka kewalahan harus mengurus Pondok Pesantren Wali Songo dengan prasarana seadanya dan banyaknya santri yang harus diurus. Akhirnya mereka menyerah.

Sebagai anak ke-4 dari 10 bersaudara, Kaka Nona nekat mengambil alih warisan ayahnya. Tak rela pondok pesantren yang sudah menolong banyak anak jalanan kemudian bubar begitu saja. Tak tega juga dia melihat ratusan santri dan santriwati yang tak tahu harus pulang ke mana.

“Ada 285 santri di sini,” kata Kaka Nona, “Dan sebagian besar saya tak tahu siapa orang tua mereka. Beberapa saya ajak kemari, karena mereka tidur di pinggir jalan.”

Frater Adi dari salah satu gereja Katolik di Kupang, diutus ke pondok pesantren saat Pondok Pesantren ini masih dalam keadaan kacau balau. Para santri dan santriwati menanam sayuran untuk makan, karena saat itu belum ada donatur tetap. Tak jarang, Kaka Nona harus mengatur jatah makan mereka. Santri yang masih kecil, mendapat jatah makan dua kali dengan menu nasi dan sayur. Untuk yang sudah remaja, jatah makannya sekali di malam hari.


Pater Adi dan Kaka Nona. Persahabatan beda agama.


Santriwati yang murah senyum. Baru bertemu beberapa jam saja, langsung akrab.

Suatu hari, ketika sudah tak ada lagi beras tersisa, Kaka Nona berkata pada Frater Adi, “Mengapa sudah dua agama berdoa, tak juga ada jalan keluar. Apa yang anak-anak makan hari ini?” Frater Adi pun tak bisa menjawab apa-apa.

Menjelang siang, Tuhan menjawab doa mereka. Kaka Nona mendapat sumbangan sebesar Rp500.000. Berbekal uang sumbangan di tangan, Frater Adi pergi ke pasar. Ia kembali dengan berkarung-karung buah labu.

“Banyak sekali. Uang masih bersisa,” kata Kaka Nona ketika melihat para santri mengangkut karung-karung berisi labu ke dapur. Mungkin karena yang membeli adalah seorang Frater yang tinggal di Pondok Pesantren, jadi penjual labu memberi banyak bonus dengan sukarela. “Balik ke pasar sudah. Belanja lagi buat makan anak-anak.”

Frater Adi pergi lagi ke pasar, dan pulang dengan berkarung-karung labu lagi. Kaka Nona bertanya, “Mana beras?”

“Tidak beli,” jawab Frater Adhi yang mendadak tersadar bahwa buah labu tak bisa disimpan berbulan-bulan, “Tapi uang su habis untuk beli labu.” Masih dengan karung-karung berisi labu ke atas motor, Frater Adi kembali mendatangi pedagang labu di pasar, “Oom, saya tadi terlalu gembira. Bahagia karena anak-anak akhirnya bisa makan, tapi apa bisa labu ini ditukar saja dengan beras?” Berbagi kebahagiaan itu indah. Karena bahagia itu bisa dirasakan bersama tanpa perlu pindah agama. Bila kalian ingin berbagi rezeki untuk adik-adik di sana, mereka akan menerima dengan senang hati. Sekecil apa pun yang kalian berikan akan sangat berarti. █

PONDOK PESANTREN WALI SANGA
Jl. Ikan Duyung No. 3 RT/RW 003/001
Kel. Rukun Lima, Kec. Ende Selatan
Ende 86351
Telepon: 0822 3760 6013
Donasi: Bank Mandiri No.Rek. 101-00-0058285-9


Comments

No comments yet.

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.