Home >>Blog >Jalan-jalan

Terry Endropoetro's avatar

Sekilas Sejarah Bandar Udara Tjilik Riwut Palangka Raya

Menjejakkan kaki di Bandar Udara Tjilik Riwut, saya langsung merasa harus tahu juga sejarahnya dan sosok yang namanya diabadikan sebagai nama bandar udara kebanggaan Kalimantan Tengah ini.

“Bentuk bangunan Bandar Udara Tilik Riwut menyerupai burung Tingang atau Enggang atau juga dikenal dengan burung Rangkong. Burung berparuh kuning ini merupakan kebanggaan suku Dayak,” begitu penjelasan R. Muhammad Hayuda Kusuma, Manager Airport Operation and Service Bandar Udara Tjilik Riwut, “Ada tiga lengkungan. Dua lengkungan di kanan dan kiri adalah sayap. Lengkungan di bagian tengah memiliki beberapa garis, yang menyerupai kepala dan jambulnya. Paruhnya sendiri ada di bagian depan bangunan bandara.”

Jangan sungkan kalau memang memerlukan waktu agak lama untuk membayangkan. Seperti saya, yang awalnya berfikir bangunan tersebut seperti ombak, akhirnya paham betapa bangunan bandar udara di bawah Angkasa Pura II ini memang memiliki bentuk unik, menampilkan kearifan lokal yang patut dibanggakan.

BERGANTI NAMA & ‘PEMILIK’
Sebenarnya Palangka Raya sudah memiliki bandar udara sejak 1958. Bandar Udara Panurung namanya yang diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut. Kala itu, landasannya hanya bisa didarati oleh pesawat kecil, jenis twin otter milik TNI AU. Pada September 1973, Bandar Udara Panarung ‘berpindah tangan’ dari Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departeman Perhubungan Republik Indonesia. Landasan bandar udara ini diperanjang dan bisa didarati oleh pesawat domestik Fokker 27.

Nama Bandar Udara Panurung diubah pada, 10 November 1988 menjadi Bandar Udara Tjilik Riwut. Mengingat Tjilik Riwut adalah Pahlawan Nasional dari Kalimantan Tengah. Bangunan bandar udara diperluas, landasannya pun diperpanjang. Keberadaan bandar udara ini menjadi sangat penting bagi masyarakat di Palangka Raya dan sekitarnya.

Namun, karena setiap tahun kebutuhan orang untuk bepergian semakin meningkat, bangunan Bandar Udara Tjilik Riwut tidak mampu menampung kapasitas calon penumpang. Berjarak 1 kilometer dari Bandar Udara Tjilik Riwut, dibangunlah bandar udara baru. Setelah empat tahun proses pembangunan, akhirnya pada 2019, Presiden RI Joko Widodo meresmikan Bandar Udara Tjilik Riwut yang baru.

BERKENALAN DENGAN TJILIK RIWUT
Tjilik Riwut lahir dari keluarga suku Dayak Ngaju, di daerah Kasongan, Kabupaten Katingan, pada 2 Februari 1918. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat di Katingan pada 1930. Atas biaya dari misionaris Katholik, Tjilik Riwut bisa pergi ke Jawa, meneruskan sekolah perawat di Purwakarta dan Bandung.

Sempat berteman dengan sastrawan Sanusi Pane, Tjilik Riwut pun terpanggil menjadi seorang jurnalis untuk surat kabar Harian pembangunan. Tjilik Riwut merasa bisa berbagi semangat kebangkitan nasionalnya pada banyak orang semasa mengelola surat kabar Soeara Sepakat milik Sarikat Dayak, yang merupakan organisasi politik orang Dayak. Setelah kemerdekaan, Tjilik Riwut adalah salah satu dari 60 Nasionalis Indonesia asli Kalimantan yang dilatih Angkatan Udara Republik Indonesia di bekas fasilitas udara milik Jepang di Maguwo dan Wonocatur, Yogyakarta. Dia adalah satu dari 12 orang yang memenuhi syarat untuk mengemban misi udara pertama Angkatan Udara Republik Indonesia dan diangkat menjadi perwira militer berpangkat Mayor pada 1947.

Tjilik Riwut bergabung pada operasi untuk mengangkut Nasionalis Indonesia asli Kalimantan tanpa tertangkap tentara sekutu yang diboncengi Belanda. Namun operasi itu gagal. Karena setelah melakukan pemberontakan satu bulan lebih di hutan Kalimantan, semua personel ditangkap dan dipenjarakan di Banjarmasin. Mereka dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar antara Indonesia – Belanda.

MENJADI PENENGAH DI KALIMANTAN TENGAH
Ketika Kalimantan Tengah hendak dijadikan provinsi, sempat terjadi konflik antar suku Dayak yang bersaing menentukan tempat ibu kota provinsi. Tjilik Riwut yang berdarah Dayak merasa harus terlibat dan menjadi penengah di antara mereka. Akhirnya pada 1957, Desa Pahandut dipilih menjadi tempat asal mula Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah.

Gubernur pertamanya adalah R.T.A.Milono dan Tjilik Riwut menjadi gubernur kedua pada 1958. Di bawah kepemimpinan Tjilik Riwut, Palangka Raya menjadi ibu kota provinsi yang terus berkembang. Pada 1967, Tjilik Riwut harus meletakkan jabatannya. Adanya insiden G30S/PKI membuat kedekatannya dengan Presiden RI Soekarno saat pembangunan Palangka Raya dianggap politik sosialis.

Hingga akhir hayatnya, Tjilik Riwut tetap bangga sebagai ‘orang hutan’, yang dilahirkan dan dibesarkan di hutan Kalimantan. Dia pecinta alam sejati dan menjunjung budaya leluhur. Pada 1987, Tjilik Riwut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lamang, Palangka Raya. Setahun kemudian, Tjilik Riwut diberkahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Perjalanan hidup yang melampaui batas-batas kesukuan, Tjilik Riwut memang pantas menjadi salah satu pejuang bangsa dan akan selalu dikenang oleh masyarakat Palangka Raya. █

----------------------------------------

Tulisan ini adalah satu dari sekian banyak pengalaman seru #TransmateJourneyPalangkaraya #TransmateJourney2021 selama 11 - 14 Oktober 2021, yang diselenggarakan oleh Transmate Indonesia dan Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.


Comments

No comments yet.

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.