Home >>Blog >Seni Budaya

Terry Endropoetro's avatar

Raden Saleh, Pangeran dari Timur

Siapa yang tak tahu Raden Saleh? Maestro Seni Rupa Indonesia. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia pernah terlunta-lunta di Eropa karena kehabisan dana dan tanah Jawa pernah membuat hatinya terluka.

Raden Saleh Syarif Bustaman masih terlalu muda ketika dipisahkan dari keluarganya di Terbaya, Semarang, menjelang perang Jawa. Kemampuan melukis dan ayunan kuas Raden Saleh memukau para pejabat kolonial. Raden Saleh pun dikirim ribuan mil jauhnya ke Negeri Belanda, sebuah negeri yang selama ini hanya ia dengar dari para kaum terpelajar Jawa.

Itu sebagian cuplikan dari buku Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Novel fiksi sejarah ini bercerita tentang Raden Saleh, Maestro Seni Rupa, permata anak negeri yang mampu melukis kehidupan gemerlapnya, penuh hasrat, gelora, dan ambisi dari banyak peristiwa di Eropa.

Digelar pada 7 Maret 2020 lalu, peluncuran buku ini cukup unik. Novel tentang Raden Saleh, diadakan di (bekas) Rumah Raden Saleh, Jalan Raden Saleh, Jakarta. Walau dalam kondisi suram dan sedikit kurang terawat, tapi sisa kejayaan masa lalu masih melekat. Kala ruang ini masih riuh suasana pesta, di mana para pejabat pemerintah Hindia Belanda dan sosialita datang untuk berdansa.

Berkolaborasi dengan Widi S. Martodihardjo, pelukis yang berdomisili di Ubud ini menorehkan cat-cat pada lembar kanvas lebar seiring dibacakan petikan novelnya. Sejak Oktober 2019, Widi sudah membuat 15 karya dengan berbagai ukuran dan akan terus bertambah hingga September 2020 nanti. Semuanya ‘disadur’ dari novel Pangeran dari Timur.

“Terlalu banyak gelombang yang harus ia hadapi, termasuk dihina di negerinya sendiri. Dalam kemegahan lukisannya, terbersit darah Jawa Raden Saleh yang kecewa, getir, namun tak kuasa berontak,” kata Widi sambil mengamati hasil karyanya sendiri.

Rencananya diskusi buku Pangeran dari Timur juga akan digelar di beberapa kota, seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Bali, dan Makassar. Para pengunjung pun bisa melihat lini masa perjalanan hidup Raden Saleh 1811 – 1880.

1811
Raden Saleh lahir di Terbaya, Semarang

1820 -1822
Raden Saleh belajar menggambar pertama kali pada Adrianus Johannes dan Jannes Theodore Bik. Keduanya adalah tukang gambar di Departemen Agrikultur, Seni, dan Sains Hindia Belanda.

1822 – 1826
Raden Saleh belajar melukis pada Payen. Selama itu juga ia tinggal berpindah-pindah dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Cianjur, dan Batavia.

1828
Jan Chrestien Baud, Menteri Jajahan, menyurati Gubernur Jenderal Van Den Bosch untuk mempekerjakan Raden Saleh atas usulan Payen. Diputuskan mengirim Raden Saleh ke Eropa untuk melihat sanggar para pelukis terkenal di sana.

1829
Raden Saleh berlayar ke Eropa bersama Inspektur Keuangan De Linge dan tiba di Anvere, Perancis. Lalu mengunjungi Ghent dan Brussel. Dengan kemampuan melukisnya, Raden Saleh diajukan menjadi ‘Anak Negara’. Ia tinggal di Den Haag dengan dana 2.000 florin per tahun.

1830 – 1831
Raden Saleh belajar melukis pada Cornelis Kruseman. Ia menyalin karya Van Dyck, Rembrant, dan Paulus Porter. Juga belajar pewarnaan gaya Rafael dan gelap terang pencahayaan gaya Gerrit Dou.

1832 – 1833
Raden Saleh belajar melukis pada Andreas Schelfhout dan bertemu dengan banyak seniman Eropa, Sepanjang tahun Raden Saleh mempelajari ilmu berhitung dan lithografi.

1834
Untuk pertama kali Raden Saleh memamerkan karya lukisnya. ‘Potret Seorang Raja’ dipamerkan di Salon Amsterdam.

1835
Lukisan ‘Pria Membaca di Bawah Cahaya Lampu’ dan ‘Potret Seorang Pria’ dipamerkan di Salon Den Haag. Di kota ini, ia sempat melukis Herman Willem Deandels. Ia juga melukis JC Baud dan Van den Bosch sebagai tanda terima kasih.

1836
Raden Saleh bergabung dengan Freemason (Masonic Lodge). Mulai mempelajari anatomi hewan dari hewan-hewan di Circus Olympic, rombongan sirkus dari Perancis yang sedang tur ke Belanda, milik Henri Martin.

1837
Lukisan karya Raden Saleh ‘Head of an Old Woman’ dipamerkan di Salon Den Haag.

1838
Raden Saleh melukis potret Pangeran Ashanti, Kwasi Boachi, Kwana Poku, dan Mayor Verveer. Namun saat pengiriman, lukisan ini hilang dalam perjalanan.

1839
Raden Saleh melukis ulang ‘Biarawan’ karya Gerrit Dou, dipamerkan di Salon Den Haag. Di tahun ini ia berpindah-pindah dari Frankfurt, Berlin, Dresden, dan mulai bekerja di dunia seni.

1840
Lukisan ‘Kapal Karam’, ‘Badai di Laut’, ‘Sepasang Singa dan Bangai Kuda’, dan ‘Perburuan Singa’ karya Raden Saleh ditampilkan di salah satu pameran seni di Dresden.

1842 – 1844
Atas undangan Duke Ernest II, Raden Saleh tinggal di Puri Callenberg miliknya dan mendapat satu ruangan untuk dijadikan studio. Ia berkenalan dengan Pangeran Albert, adik Duke Ernest II, yang menikah dengan Ratu Victoria, pewaris tahta Inggris.

1844
Raden Saleh pindah ke Paris.

1845
Raden Saleh berkenalan dengan tokoh sastra seperti Alexander Dumas, Alphonse Karr, dan Hippolyte Lucas. Juga penyair Charles Baudelaiere dan Auguste Dozon. Ia sempat belajar melukis pada Vernet, yang sedang melukis beberapa ruang di Istana Versailes atas titah Raja Louis Philippe.

1846
Lukisan ‘Pemburu Harimau’ karya Raden Saleh tak lolos kurasi untuk dipamerkan di Salon Paris, namun lukisan itu dibeli oleh Raja Louis Philippe seharga 2.500 francs.

1847
Lukisan ‘Berburu Rusa’ karya Raden Saleh dipamerkan di Salon Paris dan dibeli oleh Raja Louis Philippe seharga 3.000 francs.

1848
Raden Saleh sedang sakit saat terjadi Revolusi Perancis babak ketiga. Kerajaan digulingkan, Perancis berubah menjadi Republik.

1849
Raden Saleh kembali ke Dresden dan menerima bintang penghargaan Herzoglich Sachsen – Ernestinischen’ dari Duke Ernest II.

1851
Raden Saleh memutuskan kembali ke Jawa, berlayar dengan kapal Maccasar.

1852
Raden Saleh tinggal di rumah Gubernur Jenderal Buitenzorg. Ia mendapat teguran dari Gubernur Jenderal di Batavia karena menggunakan gelar ‘Prinz’ di kartu namanya. Di tahun ini, saat menengok ibunya di Semarang, ia sempat mampir ke beberapa kerabatnya, yaitu Bupati Palimanan, Bupati, Majalengka, dan Bupati Magelang.

1852 – 1854
Raden Saleh menikah dengan Constancia Winckelhaagen. Janda kaya pemilik sanggar pembuatan perhiasan emas dan pabrik minyak wangi. Mereka membangun rumah di Cikini yang bentuknya menyerupai Puri Calenberg di Dresden. Sebelum rumah itu selesai, mereka bercerai. Namun Raden Saleh masih diperbolehkan tinggal di rumah itu.

1857
Raden Saleh melukis salah satu karya hebatnya, ‘Penangkapan Diponegoro’.

1865 – 1866
Atas biaya Bataviaasch van Genootschap van Kunsten en Wetenshappen, Raden Saleh melakukan perjalanan budaya ke Jawa Tengah. Berjumpa dengan Hamengku Buwono VI, mengumpulkan benda dan naskah kuno, melakukan penggalian hewan purba, melukis Gunung Merapi, dan memutuskan menikahi Raden Ayu Danudirejo, putri Patih Keraton Yogyakarta.

1866
Raden Saleh kembali ke Buitenzorg, membeli sebuah rumah besar bekas kediaman Sultan Tamjidillah di sekitar Kebun Raya.

1869
Ketika terjadi pemberontakan di Tambun, Raden Saleh dan istri dituduh terlibat dan diperlakukan tidak hormat. Peristiwa menorehkan luka yang sangat dalam dan mempermalukan dirinya.

1875
Raden Saleh memutuskan menenangkan diri ke Eropa. Ia berlayar bersama anak tirinya, Raden Ayu Danudireja Sarinah, dan dua orang pembantu.

1876
Rombongan Raden Saleh tiba di Coburg, bertemu lagi dengan Duke Ernest II yang sudah menyediakan rumah tinggal.

1877
Oleh Duke Ernest II, rombongan Raden Saleh diundang untuk tinggal di Puri Rosenau.

1878
Rombongan Raden Saleh pergi ke Firenze, Italia. Di kota ini, Raden Saleh bertemu dengan Paolo Mantegazza, seorang patologis, dan fotografer terkenal, Luigi Montabone. Raden Saleh sempat mengunjungi L’exposition Universelle di Champ de Mars, Paris. Pameran besar yang memamerkan kereta api tenaga listrik dan patung Liberty yang akan diserahkan pada Amerika.

1879
Setelah kehabisan dana, rombongan Raden Saleh kembali ke Jawa. Sesampainya di Batavia, Raden Saleh mendapat pemulihan nama baik dari Gubernur Jenderal Willhem van Lansberge.

1880
Pada 23 April, Raden Saleh meninggal mendadak. Disusul Raden Ayu Danudirejo pada 31 Agustus. Keduanya dimakamkan berdampingan.

Sadarlah kita, bahwa seorang pribumi Jawa memiliki hidup yang begitu berwarna pada masanya. Menghabiskan sebagian besar hidupnya di Eropa, tak berarti ia lupa pada tanah kelahirannya. Ia tetap terpanggil pulang dan berpulang di tanah Jawa, negeri pertiwinya, Indonesia. █


Comments

No comments yet.

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.