Home >>Blog >Icip-icip Kuliner

Terry Endropoetro's avatar

Bar Jamu di Kotagede

Kalau kalian bertandang ke Yogyakarta, jalanlah sore-sore ke Masjid Matrama Kotagede. Kalian akan lihat orang-orang bergerombol dekat pintu gerbang masuk. Jangan salah sangka, itu bukan ritual keagamaan, tapi antrean pembeli jamu.

Mbah Widarto duduk di bangku kecil, memeras bahan-bahan jamu yang sudah diparut. Penampilan Si Mbah sangat bugar, tidak akan mengira kalau usia beliau sudah 68 tahun.

"Saya cuma bisanya bikin jamu," kata Si Mbah malu-malu. Kata pelanggannya yang duduk mengantre, tangan Si Mbah sungguh 'sakti', karena dengan tangan itulah rempah-rempah ramuan diperas. Jamu ramuannya ampuh menghalau masuk angin, pusing, pegel linu, menjaga stamina. Ibu-ibu menyusui dan yang baru melahirkan pun menjadi pelanggannya.

Awalnya, saya dan Rere Atemalem agak bingung harus mengantre dari mana? Melihat banyaknya pelanggan. Beberapa orang duduk di bangku panjang, sebagian lagi berdiri. Semua tenang, tidak ada yang ribut mengobrol. Lalu kami harus bertanya pada siapa?

Untung seorang ibu memberitahu, bahwa bila tiba giliran, nanti akan ditanya mau dibuatkan jamu apa. Ini suasana 'yang aneh' bagi saya, antreannya panjang, tidak pakai nomor antre, dan semua orang yang mengantre dalam diam. Akhirnya saya dan Rere ikutan duduk kalem, karena jarak kami berjauhan, kami berbicara dengan bahasa isyarat.

Si Mbah memeras bumbu-bumbu rempah yang sudah dihaluskan, lalu disaring, dimasukkan ke dalam botol. Bersandingan dengan Si Mbah, ada Mbak Siwi. Anak Si Mbah yang menjabat sebagai asisten pribadi dan 'pemeran pengganti' bila Si Mbah sedang bepergian keluar kota.

Mbak Siwi juga berperan sebagai bartender jamu. Tangannya cekatan menuangkan air-air perasan jamu dari botol. Ramuan yang dihasilkan pun beragam. Ada yang cokelat kental seperti lumpur. Ada juga yang kuning lekat. Sebagian besar pelanggan, selain meminum langsung di tempat, mereka biasanya sekalian juga membawa pulang beberapa ramuan jamu yang dikemas dalam plastik.

"Yang ini pesanan isti saya yang sedang datang bulan. Yang ini buat anak saya biar nggak gampang masuk angin," kata seorang lelaki yang duduk di sebelah saya. Sebelum beranjak pergi ia menyerahkan tiga lembar uang 5.000-an pada Mbak Siwi.

Ternyata, selain cekatan meramu jamu Mbak Siwi memiliki ingatan kuat. Ia tahu siapa yang mengantre lebih dulu. Ia pun ingat pelanggannya biasa memesan jamu jenis apa. Inilah mengapa pelanggannya duduk mengantre tanpa berebutan minta didahulukan. Keistimewaan hanya diberikan bagi pelanggan yang membeli jamu 'iyup-iyup', jamu untuk ibu menyusui. Mereka akan selalu didahulukan dan pelanggan lain tidak boleh protes!

Sesekali Mbak Siwi bertanya pada pelanggan, "Pithik opo bebek?" Maksudnya telur ayam atau bebek yang akan dicampurkan dengan jamu jenis tertentu. Yang diminum bersama jamu pun hanya bagian kuning telur, sedangkan putih telur dituang ke wadah terpisah. Putih telur ini sudah ada peminatnya, buka n untuk diminum, tapi dibeli oleh pedagang kue.

Satu-satu pelanggan yang sudah minum jamu beranjak pergi. Giliran Rere ditanya mau pesan jamu apa? "Kunyit asam," jawab Rere sambil duduk di bangku panjang. Tak berapa lama Mbak Siwi menyodorkan kunyit asam dala wadah mangkuk batok kelapa. Warnanya kuning menggoda. Gluk! Gluk! Gluk! Cepat sekali Rere meneguknya. Mangkuk batok kelapa yang sudah kosong disodorkan lagi dan Mbak Siwi menuangkan air gula asam.

"Segar!" kata Rere. Saya sih, percaya saja, wong saya bukan peminum jamu. Tapi melihat pelanggan sebanyak itu ya tak perlu diragukan lagi. Terbukti 37 tahun pelanggannya tetap setia, bahkan turun temurun memenuhi lapak jamu di pinggiran trotoar.

"Telung puluh pitu taun, Mbah? Suwi biiianget (37 tahun, Mbah? Lama banget)," kata seorang pelanggan. Ia baru tahu selama itulah Si Mbah berjualan.

"Lho, ibune sampeyan netheki sampeyan yo wis dadi langganan nang kene. Sampeyan netheki anak sampeyan, saiki sampeyan meh mantu to? (Sejak Ibumu menyusui kamu sudah jadi pelanggan di sini. Kamu menyusui anakmu, sekarang kamu sudah mau mantu kan?)," kata Si Mbah sambil tertawa, suasana berubah menjadi riuh. Lho, ternyata boleh tertawa juga toh? Saya kira selama mengantre ada pantangan berbicara ha... ha... ha... Jogja! Jogja! Suasananya memang adem ayem, bikin hati tentrem. █

WIDARTO JAMU
Jl. Masjid Besar, Kotagede, Yogyakarta

Jam buka: 16.00 - 21.00 WIB
Harga: Rp5.000 - Rp15.000


Comments

No comments yet.

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.