Home >>Blog >Segala Rupa

Terry Endropoetro's avatar

Bukti Nyata Pengelolaan Sampah & Limbah

Masker sudah menutupi hidung. Apalagi melihat dua gundukan sampah yang menggunung. Tapi karena penasaran, saya membuka masker dan mulai mengendus bau. Ada yang salah dengan indera penciuman. Tak tercium bau busuk sampah!

Ini yang terjadi di tempat pengelolaan sampah di kawasan pabrik PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. (Indocement) , Cieteureup, Bogor, Jawa Barat. Di sebuah lapangan terbuka, sampah-sampah rumah tangga dari masyarakat sekitar dikumpulkan menjadi dua gundukan tinggi dan memanjang. Keduanya ditutupi terpal berwarna hijau. Dari salah satu terpal yang sebagian dibuka tampak sampah beraneka rupa. Kertas-kertas, bekas kemasan makanan, plastik, kaleng minuman, sampai logam. Persis seperti toko swalayan. Semua ada!

Pada umumnya, gundukan sampah semacam ini adalah sampah basah. Tapi yang ini, tampak kering. Apakah karena dijemur di lapangan terbuka? Ternyata bukan itu penyebabnya. Gundukan sampah ini sudah mengalami proses Bio-Drying, yaitu proses pengeringan sampah dengan menggunakan mikroorganisme dari sampah itu sendiri dengan menggunakan terpal khusus dan dibiarkan selama 20 - 21 hari.

Dengan dibantu oksigen yang dialirkan melalui lubang-lubang di bagian bawah, mikroorganisme di dalam sampah pun cepat berfermentasi. Mengubah sampah menjadi panas dan kandungan air di dalamnya menguap. Uap akan keluar melalui pori-pori di lapisan dalam terpal, tak akan kembali masuk karena lapisan luar terpal kedap air.

Kandungan air pada sampah tak semuanya menguap, tapi juga dialirkan ke tempat pembuangan khusus. Lindi (air sampah) berwarna hitam ini memiliki kadar nitrogen yang sangat tinggi, sehingga bila disiramkan pada tanaman, tanaman akan langsung mati. Namun tetap bisa digunakan bila dicampur terlebih dahulu dengan tanah.

Biasanya lindi mengeluarkan bau busuk menusuk hidung, tapi bau yang tercium masih dalam batas wajar (bagi saya). Ternyata, selain mengurangi 60% kandungan air pada sampah menjadi 20%, proses Bio-Drying juga meminimalisasi pencemaran udara dan perkembangbiakan lalat.

Indocement menjadikan pengelolaan sampah Bio-Drying sebagai proyek percontohan. Refused Derived Fuel (RDF) yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk sebuah pabrik besar. Hal ini sebenarnya bisa menjadi solusi permasalahan sampah di setiap wilayah kabupaten dan provinsi di Indonesia. Buktinya sudah ada, hanya tinggal mau menerapkannya atau tidak.

BAHAN BAKAR DARI LIMBAH
Beberapa tahun belakangan ini Indocement mulai mengurangi 15% penggunaan batu bara sebagai bahan bakar. Menggantikannya dengan bahan bakar dan bahan baku alternatif dari limbah. Tempat pengelolaan limbahnya pun ada, Plant 7/8, yang berada di kawasan pabrik dan mampu mengolah 300 ton limbah per hari.

Walaupun Indocement memiliki izin untuk mengolah limbah B3 (Bahan Bakar Beracun), namun tak sembarang orang diizinkan masuk ke kawasan Plant 7/8. Karena banyak limbah beracun yang belum aman terolah. Seperti, sisa oli dan minyak yang berada di dalam drum-drum besar, cat bekas, plastik terkontaminasi, juga limbah tekstil terkontaminasi.

Limbah Non-B3, seperti sekam padi, serbuk gergaji, lainnya diletakkan pada kavling yang berbeda-beda. Ban, kertas dan kardus bekas, dan Refused Derived Fuel dicacah dan dihancurkan. Setiap campuran menghasilkan warna berbeda. Coklat muda, coklat tua, hitam, bahkan ada yang serpihannya bersinar mengilat.

Semuanya digiling menjadi butiran seperti pasir, dikumpulkan dalam gundukan-gundukan kecil. Bila ada bendera merah di pucuknya, berarti olahan limbah masih dalam proses pengecekan kualitas keamanan. Bila sudah tertancap bendera berwarna hijau, berarti olahan limbah sudah siap digunakan sebagai bahan bakar.

DITANTANG NAIK KE ‘MENARA’
Bukan hanya keliling di kawasan sekitar pabrik Indocement, namun kali ini saya dan para bloger diizinkan masuk ke Plant 14, yang diresmikan pada Oktober 2016. Plant terbaru Indocement ini juga merupakan yang tercanggih, terefisien, dan yang jelas difasilitasi dengan teknologi ramah lingkungan.

Semua proses pengolahan bahan baku sampai penggilingan akhir (cement mill) disemuanya digerakkan dan dipantau di Cental Control Room. Beberapa operator yang ada di dalam dan duduk mengawasi pergerakan mesin, mengatur temperatur, dan semua proses kerja pabrik yang ditampilkan pada layar-layar besar di hadapan mereka. Bisa dibilang ruangan ini ‘steril’. Yang tak berkepentingan hanya boleh melihat dari bali kaca pembatas.

Plant 14 bekerja 24 jam non-stop. Menghasilkan 720 ton per jam, 10.000 ton klinker per hari, total 4,4 juta ton per tahun. Kalau dalam kantongan semen, hitungannya adalah 360.000 kantong per hari. Bisa membayangkan seberapa luas gudangnya?

Sebagai pengunjung semua peraturan pabrik harus dipatuhi. Penggunaan helm, masker, rompi, dan sepatu pengaman. Safety briefing juga harus didengarkan baik-baik, mulai dari mengetahui letak exit door dalam gedung, tindakan yang dilakukan bila terjadi kebakaran, hingga bila terjadi gempa bumi.

Selama berjalan kaki di dalam pabrik, kami harus berjalan di pinggir karena banyak truk-truk semen yang lalu lalang. Tetap berjalan dalam kelompok, tak boleh keluar dari rombongan. Dimana-mana terpajang tanda peringatan pentingnya menggunakan perlengkapan pengaman.

Bagian-bagian pabrik adalah pipa-pipa besi, ban berjalan, dan ruang-ruang yang besar. Di beberapa tempat kami harus berbicara agak kencang, karena mesin-mesin pabrik menderu kencang. Di satu tempat, kami disuruh mendongak ke atas. Sebuah pipa raksasa berdiameter 6 meter dengan panjang 90 meter berputar perlahan. Pipa ini berfungsi sebagai oven untuk memanggang semen. Setelah tahu suhu di dalamnya 1.400 derajat Celcius dan saya pun tak mau lama-lama berada di bawahnya.

Acara puncaknya adalah naik ke suspension preheater. Puncak dalam artian sebenarnya, puncak cerobong pabrik setinggi 150 meter. Untungnya kami semua ‘diharuskan’ naik lift. Bayangkan kalau harus menaiki 1.444 anak tangga! Kapan kami akan sampai di atas?

Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, mata saya langsung melihat papan peringatan dengan tulisan ‘Awas Barang Panas’ di pagar yang membatasi sebuah pipa besar. Dengan izin dan diawasi petugas, saya diperbolehkan mencoba meletakkan telapak tangan pada pipa. Katanya, kalau tahan memegangnya selama 5 menit, berarti suhu di dalam pipa sekitar 60 derajat Celcius. Masih ada jarak sekitar 15 centimeter, telapak tangan sudah terasa hangat. Saya urungkan niat saya sampai di situ saja,

Di ketinggian, angin kencang dan pergerakan mesin pabrik sesekali membuat lantai baja seperti bergetar. Saya bisa melihat keseluruhan kawasan pabrik Indocement, tambang di bukit, conveyoer yang membawa bahan baku dari tambang ke pabrik, juga perkampungan penduduk, persawahan hijau, dan sungai berliku. Toh, saya (yang takut ketinggian) tetap bisa menikmati pemandangan, walaupun sambil berjongkok dan berpegang erat pada pagar. █


Comments (4)

Topic:
Sort
0/5 (0)
Facebookdel.icio.usStumbleUponDiggGoogle+Twitter
Gravatar
Shasya Pashatama says...
Mbak Ter kalau fotonya pake boots kuning bulu mata palsu teralihkan ya jadinya :)
Gravatar
simbok says...
foto paling bawah itu lucu hahahahaha
Gravatar
Swastika SN says...
Aku baru ngeh loh ada jalan Tiga Roda!!!

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.