Home >>Blog >Seni Budaya

Terry Endropoetro's avatar

Athirah, Kisah Seorang Ibu

Jangan tertipu pada pasangan yang begitu serasi. Karena perjalanan hidup dapat begitu saja berubah arah. Walau tampak sepadan di muka, kadang sesuatu yang terjadi bisa mengubah semuanya.

Bercerita tentang sepasang suami istri yang pindah dari Bone mengadu nasib ke Makassar saat zaman susah karena pemberontakan di Sulawesi Selatan. Berhasil dalam berdagang hasil bumi, Puang Ajji (Arman Dewarti) pun menjadi saudagar ternama di Makassar. Athirah (Cut Mini), istri beliau yang sesekali ikut membantu di toko, juga sibuk mengurus rumah tangga, suami, ketiga anak remajanya (Ucu, Aini, Ira), dan bayi yang sedang dikandungnya.

Tanpa banyak dialog, potongan demi potongan gambar menghujani awal cerita. Hidangan yang selalu tersaji di meja makan menunjukkan kondisi keluarga Puang Ajji yang cukup makmur. Ikan bakar, palumara, dan masih banyak sayur dan lauk pauk lainnya, tertata rapi di atas piring dan mangkuk-mangkuk keramik nan apik. Di adegan lain, beragam sajian kue tradisional ditata dan disajikan saat Puang Ajji mengundang kawan-kawan bisnisnya makan siang di rumah. Ada cucuru bayao, kue bingka, barongko, sikaporo. Warna-warni beragam bentuk dan rupa seperti menyajikan kekayaan lain negeri ini.

HATI WANITA BERBICARA
Sebagai seorang yang beragama, Puang Haji tak pernah berkata kasar, senyum di kulum selalu menghias wajahnya. Ia menjadi imam keluarga. Membangunkan anak-anak di kala subuh, mengajak pergi ke masjid untuk sholat berjamaah di sana. Siapa sangka minyak rambut di meja kerja Puang Ajji membangkitkan rasa curiga Athirah. Ketika suaminya kembali berdandan necis di muka cermin dan mulai jarang pulang untuk makan malam bersama keluarga. Athirah pun semakin yakin ada lirikan wanita lain sudah meluluhkan hati suaminya.

Cut Mini memang bukan artis sembarangan. Dengan ekspresi mimik wajah ia mampu melontarkan kata hati Athirah. Yang bergetar ketika orang kepercayaannya, Rusdi (Andreuw Parinussa), dalam diam mengiyakan bahwa Puang Ajji sudah akan memperistri perempuan lain. Sedih, tegang, dan marah tapi harus menjaga perasaan agar tak diketahui anak-anaknya. Dengan wajah tanpa ekspresi Athirah beranjak dari tempat tidur di mana suaminya tidur. Mengulurkan kemeja pada suaminya dan membukakan pintu depan tanda tak sudi ia berbagi hati dengan perempuan lain.

Adegan Athirah menjahit sarung, mas kawin pemberian mertuanya, yang sobek jadi terasa dramatis. Seperti menyiratkan bagaimana usaha Athirah mempertahankan keutuhan keluarganya. Termasuk pergi ke dukun, untuk mendapatkan jimat agar suaminya kembali ke dalam pelukannya. Sial usahanya gagal! Di luar rencana jimat yang sudah dipersiapkan malah menggelundung ke bawah meja.

Ibunda Athirah (Jajang C.Noer) ikut prihatin dengan nasib anaknya. Ia mewariskan selembar sarung tenun dan bercerita, "Ketika bapakmu ingin mengawiniku, dia pergi mencari benang selama 3 hari perjalanan, supaya nenekmu bisa membuatkan sarung ini untuk melamarku. Istrinya yang keempat." Muncul pertanyaan, adat atau karmakah yang harus dijalani?

HIDUP YANG HARUS BERLANJUT
Mengambil kain dari para penenun di kampung dan menjualnya di Makassar menjadi kesibukan baru Athirah. Tak hirau dengan perguncingan orang, tentang suaminya yang jarang pulang. Kain-kain jualannya ternyata banyak peminat. Hasil penjualannya dia belikan emas. Gram demi gram pun terkumpul, dia simpan dalam kotak kayu, disembunyikan di dalam lubang di bawah tempat tidurnya.

Melihat ibu yang diabaikan ayahnya, Ucu (Christoffer Nelwan) sebagai anak lelaki tertua merasa harus bertanggung jawab menggantikan fungsi ayahnya, menjaga keluarga. Ia pun merasakan kemarahan ibunya, ketika dikirimi surat oleh keluarga istri muda karena dianggap pengganggu rumah tangga orang.

Namun Ucu sempat marah pada Athirah, karena tak paham mengapa ibunya memilih untuk hamil lagi demi merebut kembali hati ayahnya. Kemudian merasa sangat berdosa dan bersalah ketika melihat ibunya harus mempertaruhkan nyawa saat melahirkan adik bungsunya. Tak terbantahkan lagi, melindungi hati dan perasaan ibunya menjadi tugas utamanya. Kaitan batin yang tak bisa diuraikan.

Ketegaran Athirah bagai batu karang, dan dalam hati yang selembut pintalan benang sutra, Athirah mencurahkan kemarahan terhadap suaminya dengan tak merasa perlu lagi mengagungkan kain 'sakral' pemberian mertuanya. Dia pesan pada penenun untuk menenun kain-kain persis semacam itu lalu menjual tiruannya.

Tahun demi tahun berlalu, suasana hati yang suram berangsur menjadi terang. Cinta dari semua anak menjadi penenang. Ketika Puang Ajji pulang pada suatu malam, sambil bercanda Athirah berbisik pada salah satu anak gadisnya, "Coba kau menyingkir, ada tamu yang datang."

Puang Ajji pulang ke rumah dengan raut wajah meredup. Pergolakan ekonomi negara yang carut-marut membuat usahanya bangkrut. Dengan berbesar hati Athirah menyerahkan kotak penuh perhiasan, agar gaji para pegawai Puang Ajji bisa dilunasi. Bagi Athirah, keluarga adalah segalanya, dan dia menemukan kemenangan dengan caranya sendiri.

KUNO TAPI SEMPURNA
Riri Riza dan Miles Production memang cermat. Sepetak layar film hitam putih yang merekam acara adat pernikahan Bugis zaman dulu lengkap dengan tari kipas. Puluhan kain sarung indah 'bertebaran' dari awal hingga akhir cerita. Cara tradisional menenun dan menjemur sarung pun diperlihatkan. Logat kental Sulawesi Selatan yang berirama terucap oleh para pemain. Film yang ber-setting tahun 1955 ‐ 1967 ini hampir tak luput dari properti kekunoannya. Mulai peralatan makan, perabot, suasana rumah, suasana pesta, baju, musik, hingga kendaraan, bahkan wajah-wajah pemainnya.

Menariknya lagi, bila kita menonton tanpa tahu bahwa Athirah diambil dari novel Alberthiene Endah, film ini tetaplah indah. Semua pesan tersampaikan, karena sosok Athirah bisa jadi perempuan mana saja yang memiliki dan mengalami nasib serupa. Seperti wajarnya seorang ibu yang menggadang-gadang anaknya saat mencarikan menantu.

"Anakku anak baik. Dia urus rumah, dia bantu saya kerja, dia terus belajar. Bekerja juga di perusahaan bapaknya. Dak banyak main dia, dak banyak macam-macam. Dia pintar berdagang, lebih pintar dari bapaknya." kata Athirah membanggakan anak lelaki sulungnya, "Tambah gagah anakku sekarang...."

Tapi hanya Athirahlah satu-satunya ibu yang membeli songkok (peci) milik Puang Hatta, keturunan Raja Bone. "Semoga nanti kau jadi orang besar;" kata Athirah sambil memasang songkok dengan benang emas itu di kepala anaknya, Jusuf Kalla. █


Comments (1)

Topic:
Sort
0/5 (0)
Facebookdel.icio.usStumbleUponDiggGoogle+Twitter
Gravatar
Danny Tumbelaka says...
Bekal ilmu hidup...
Sekilas muncul dalam benak, bagaimana bila sang istri yang melirik laki-laki lain ya?

Add Comment

* Required information
(never displayed)
 
Bold Italic Underline Strike Superscript Subscript Code PHP Quote Line Bullet Numeric Link Email Image Video
 
Smile Sad Huh Laugh Mad Tongue Crying Grin Wink Scared Cool Sleep Blush Unsure Shocked
 
2000
 
Notify me of new comments via email.