Nuansa Magis di Candi Sanggrahan, Tulungagung
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2020-12-22
Ini kali pertama saya berkunjung ke Candi Sanggrahan, sebelumnya hanya tahu dari gambar saja. Walau sempat bingung mengapa pergi ke candi malam hari, pada akhirnya saya malah jadi tak bisa berkata-kata.
CANDI PEMUJAAN PENINGGALAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Candi yang terletak di Desa Boyolangu, Kecamatan Sanggrahan, Tulungagung berbentuk bujur sangkar ini, pernah diteliti oleh beberapa ahli purbakala. Di antaranya N.W. Hoepermans (1913), N.J. Krom (1915, 1923), Sir Thomas Stanford Raffles pun mencatat dalam bukunya (1917), dan masih ada sederet nama yang terus tertantang menguak misterinya.
Candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1350 M. Berbentuk bujur sangkar dengan tinggi 9 meter. Saat ditemukan, di sisi Selatan bangunan candi ada reruntuhan tangga menuju bagian atas candi. Menurut pecinta sejarah, Agung Pinasthiko, walau tak ditemukan bagian atapnya, sangat mungkin bagian atas candi dulunya merupakan relung utama, tempat diletakkannya arca yang dipuja.
Saat ditemukan, ada lima arca Dhyani Buddha di dinding Utara bangunan candi. Arca Buddha yang digambarkan mengenakan kain, tanpa kalung atau perhiasan lainnya, duduk bermeditasi di atas padmasana menampilkan posisi vairocana, aksobhya, ratnasambhava, amitabha, dan amogasiddhi yang menyimbolkan lima kebijaksanaan dalam hidup. Namun karena alasan keamanan, kelima arca ini dipindahkan ke Museum Daerah Tulungagung.
Oleh masyarakat setempat, Candi Sanggrahan diyakini pernah menjadi tempat beristirahat (pesanggrahan) para rombongan resi pembawa jenazah Ratu Majapahit istri Raden Wijaya, Gayatri Sri Rajapatni, menuju perabuan.
KEMBALI BEBERSIH DESA
Beberapa meter dari pintu masuk kawasan candi, seorang lelaki yang mengenakan beskap hitam, kain batik, dan blangkon, mengarahkan kami untuk berdiri berbaris. Masing-masing diserahi sebuah lengkong, semacam wadah makanan berbentuk segi empat terbuat dari pelepah batang pisang. Di dalamnya ada nasi putih, sepotong besar ayam berbumbu, mi goreng, oseng tempe, dan tumis buncis. Lengkong ditutup dengan selembar daun pisang, yang harus sedikit saya tahan dengan ujung jari, agar tak tertiup angin.
Lengkong harus dibawa dengan posisi tangan seperti membawa persembahan dan disangga setinggi dada. Saya menurut saja, walaupun masih terkagum-kagum bisa diikutsertakan dalam sebuah porsesi ritual Nyadran atau Bebersih Desa, begitu masyarakat Jawa menyebutnya. Yaitu memanjatkan doa memohon perlindungan pada Sang Pencipta untuk masyarakat desa. Sayangnya, dengan alasan tidak praktis, tradisi seperti ini sudah mulai terkikis.
Kami berbaris, di belakang tiga orang Cucuk Lampah. Dalam tradisi Jawa, Cucuk Lampah adalah penolak bala dalam sebuah prosesi. Saat berjalan perlahan memasuki halaman candi, tak pernah terbayangkan bahwa saya terlibat di dalam sebuah prosesi.
Dengan iringan gamelan, kami berjalan perlahan dalam diam mengitari Candi Sanggrahan melawan arah jarum jam. Saya paham, di sinilah kita harus bisa menjaga perilaku. Bersinggungan dengan orang lain mengharuskan kita beradaptasi. Menjaga mulut untuk melatih toleransi, bukan melulu mempertahankan kemauan pribadi.
Belum setengah putaran candi, makin lama lengkong yang dibawa terasa makin berat. Berulangkali saya kuatkan lengan untuk tetap menyangganya tetap setinggi dada. Ini seperti simbol bahwa setiap manusia memiliki masalah, itulah beban yang harus ditanggung. Setelah satu putaran, lengkong diletakkan di tengah tikar yang sudah dihamparkan di depan candi. Ini simbol bagaimana leganya bisa terbebas dari beban, apa yang dimandatkan selesai sudah.
MENDEKATI LANGIT
Dari belasan lengkong, ada satu yang terbesar dan istimewa, karena ada ayam ingkung di dalamnya. Ayam utuh yang dimasak lodho khas Tulungagung. Dibumbui rempah, dipanggang, lalu dimasak dengan santan. Ingkung sendiri diambil dari bahasa Jawa Kuno, jinakung dan manekung, yang artinya memanjatkan doa, ayam diletakkan seperti sedang duduk dengan kepala ditegakkan. Menyimbolkan manusia yang harus selalu merendah di hadapan Sang Pencipta.
Semua yang hadir duduk melingkar di atas tikar. Pemangku Adat Desa mulai melantunkan doa-doa dalam bahasa Jawa halus. Bahasa ‘kasta tinggi’ ini tak mudah saya pahami. Tapi saya percaya, walau diucapkan dalam bahasa dan ungkapan berbeda, pada dasarnya semua doa berisi kebaikan, permohonan, dan pujian pada Sang Penguasa alam raya. Konon katanya, doa-doa yang dilantunkan akan meresap ke makanan di dalam lengkong. Siapa saja yang datang bisa ikut makan, beralaskan daun pisang, berkahnya pun dinikmati bersama.
Mungkin karena terhanyut suasana, saya tak berhasil merekam penampakan isi lengkong. Tapi, makan malam dengan pemandangan Candi Sanggrahan sambil menyaksikan persembahan tari menjadi pengalaman istimewa. Perut kenyang, hati pun senang.
Beberapa dupa yang saya nyalakan di salah satu sudut candi menjadi bentuk penghormatan. Sampai kemudian, seorang teman Tuladha memberi tanda dan berbisik, “Monggo mbak, kalau mau naik ke atas candi.”
Jantung saya seperti melorot sampai dengkul. Saya? Hanya saya? Tanya saya berulang-ulang tidak juga yakin, sampai akhirnya sadar saya sudah melepas alas kaki di ujung bawah tangga. Masalah baru muncul, ketika melihat anak tangga yang lebarnya hanya setebal batu bata. Bagaimana caranya naik, bila tak bisa pula berpegangan dengan dinding candi karena ada sentir menyala di setiap anak tangga.
Ternyata, saat menapaki anak tangga pertama, saya melanjutkan terus berjinjit tanpa berhenti, Sambil terus berfikir ada apa, atau siapa kira-kira yang bakal saya temui di atas sana? Sampai di atas, saya hanya menemukan sebuah pelataran kosong. Saya bisa melihat ke langit luas tak terhalang apa-apa.
Berbekal 3 dupa yang sudah dinyalakan, saya duduk bersimpuh. Menancapkan batang dupa satu persatu di petak tanah yang memang sudah tersedia. Batang pertama untuk rasa bersyukur pada Sang Pencipta, batang kedua untuk tanah di mana pun saya berpijak, batang ketiga untuk semua makhluk ciptaan-Nya. Hanya satu doa yang terlintas dan keluar dari mulut saya, yaitu Al Fatihah.
Pantas saja sebelum berangkat ke candi, teman-teman Tuladha meminta kami untuk berpakaian lebih sopan, tidak mengenakan celana pendek atau baju tanpa lengan. Jadi, keberadaan kami di sini bukan sekadar berwisata, namun lebih untuk memperkaya jiwa. █
--------------------------------------------------
Perjalanan di akhir November 2020 bersama para blogger dan vlogger ini, terlaksana atas undangan Forum Tuladha, Komunitas Tulungagung Muda Berdaya dan Berbudaya. Foto-foto juga instagram dengan hashtag #TulungagungBercerita #TulungagungBerbudaya #Tuladha2020
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment